Senin, 17 Desember 2007

PERKEMBANGAN LINGUISTIK DI INDONESIA

ABSTRAK

Bagaimanakah ilmu bahasa atau linguistik berkembang di kancah studi bahasa di Indonesia? Dengan menggunakan sebagian karya penelitian bahasa, penelusuran jejak pengajaran/pembelajaran bahasa, dan penyimakan karya-karya teoritik di bidang ilmu bahasa, tulisan ini hendak merentang sejarah perkembangan linguistik di Indonesia tersebut. Sesuai dengan dominasi teori tertentu pada kurun waktu tertentu dipetakanlah perkembangan linguistik tersebut dalam (1)periode dominasi tata bahasa tradisional (sebelum 1965-an), (2)periode dominasi tata bahasa struktural (1965-an s.d. 1985-an), (3)periode dominasi tata bahasa transformasional di tengah variasi tata bahasa fungsional /pragmatik (1985-an s.d. akhir 1990-an), dan (4)periode warna-warni teori (awal 2000-an).

Pendahuluan

Topik perkembangan linguistik sebagaimana tersurat dalam judul mengimperasi pada kajian bidang historiografi linguistik atau penyusunan sejarah linguistik. Menurut Kridalaksana (1985:57), kajian historiografi linguistik merupakan sarana untuk melihat kembali yang telah dilakukan selama ini, sehingga diperoleh pemahaman perkembangan konsep, teori, metode, terminologi, dan ciri deskripsi di bidang bahasa. Oleh karena itu, seperti halnya penyusunan sejarah pada umumnya, kajian tersebut terpumpun pada pelacakan atas peristiwa masa lalu. Hal itu berarti kajian ini memerlukan data-data peristiwa linguistis yang pernah terjadi pada suatu masa, dan di suatu tempat, karena sejarah tidak pernah lepas dari waktu dan ruang tertentu, bahkan juga tokoh tertentu.

Peristiwa linguistis apa sajakah yang dapat digunakan sebagai data dalam pengkajian historiografi? Pertama, tentu saja, penelitian bahasa karena dalam penelitian bahasa akan tersurat juga teori, konsep, metode, terminolgi, dan karakteristik deskripsi. Oleh karena itu, karya penelitian di bidang bahasa dapat menjadi data dalam penyusunan historigrafi. Peristiwa lain, kedua, adalah pengajaran bahasa karena dalam pengajaran bahasa, khususnya dalam buku-buku pelajaran bahasa yang digunakan dapat diketahui juga teori, konsep linguistik yang dianutnya Ketiga, dan inilah yang paling esksplit, adalah penulisan karya teoritis, yaitu buku yang secara eksklusif memaparkan teori linguistik tertentu. Singkat kata, segala sesuatu yang membicarakan bahasa dapat menjadi materi kajian, tidak terbatas pada karya teoritis (Kridalaksana, 1985: 57).

Oleh sebab kelaziman dalam kajian historis juga, tulisan ini dilakukan dengan pola urutan kronologis yang terejawantah dalam periodisasi. Periodisasi yang digunakan didasarkan pada dominasi teori tertentu pada kurun waktu tertentu. Atas dasar hal tersebut, setelah memetakan beragam teori linguistik yang pernah dan masih digunakan dalam kancah studi bahasa di Indonesia, berikut secara berturut-turut akan dibahas (1)periode dominasi tata bahasa tradisional (sebelum 1965-an), (2)periode dominasi tata bahasa struktural (1965-an s.d. 1985-an), (3)periode dominasi tata bahasa transformasional di tengah variasi tata bahasa fungsional/pragmatik (1985-an s.d. akhir 1990-an), dan (4)periode warna-warni teori (awal 2000-an). Istilah dominasi dalam penamaan periodisasi ini didasari fenomena linguistis bahwa teori-teori tertentu dalam suatu periode tetap eksis walaupun telah muncul teori baru pada periode berikutnya. Jadi, harus diakui bahwa teori tata bahasa tradisional, misalnya, sampai sekarang (awal 2000-an) tetap berpengaruh dan digunakan dalam pengajaran bahasa maupun penelitian bahasa di Indonesia.

1. Periode Dominasi Tradisional (Sebelum 1965-an)

Sesungguhnya, lebih dari tiga abad sebelum 1965-an (tepatnya pada 1653) Joannes Roman telah menulis tata bahasa Melajoe (baca: bahasa Indonesia). Untuk pendeskripsian fenomena bahasa Melajoe, ia menggunakan istilah dalam bahasa Belanda yang tidak lain terjemahan istilah Latin, misalnya dalam penyebutan kelas kata. Oleh Joannes Ramon kelas kata dalam bahasa Melajoe dibedakan atas (1)namen atau benda, (2)voornamen atau kata ganti, (3)woorden atau kata kerja, (4)bijwoorden atau kata keterangan, (5)voorzettingen atau kata depan, (6)koppelingen atau kata sambung, dan (7)inwurpen atau kata seru (Kridalaksana, 2002:4). Pembagian kelas kata seperti itu tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan Dyonisius Thrax (100 SM) atas (1)onoma atau kata benda, (2)antonymia atau kata ganti, (3)rhema atau kata kerja, (4)epirrhema atau kata keterangan, (5)prothesis atau kata depan, (6)syndesmoi atau kata sambung, (7)metosche atau partisipel, dan (8) arthron atau kata sandang (Sulaiman, 1973:15; Pateda, 1990:16).

Semua mafhum bahwa kelas kata ala Thrax merupakan pengembangan dan perluasan yang pernah dilakukan Aristoteles (300 SM) atas (1)onoma atau kata benda, (2)rhemata atau kata kerja, dan (3)syndesmoi atau kata perangkai, ataupun yang pernah dilakukan Plato (400 SM) atas (1)onoma atau benda, dan (2)rhema atau kerja. Pola pikir Thrax, Aristoteles, dan Plato itu yang menjadi landasan tata bahasa tradisional, yaitu (1)preskriptif, (2)nosional, (3)translingual, (4)logikosentris. Preskriptif berarti tata bahasa tradisional menghakimi penggunaan bahasa atas vonis benar salah (Alwasilah, 1989: 34) atau bersifat menentukan dan mengharuskan (Harsono, 1979: 1). Para tradisionalian sering membuat aturan-aturan kebahasaan yang dapat dianalogikan sebagai resep kebahasaan. Tuturan (1) dinilai takberkaidah, karena itu tidak benar, walaupun tuturan itulah yang pada kenyataannya digunakan penutur bahasa Indonesia untuk menanyakan nama pada lawan bicara. Menurut tradisionalian, tuturan (1a), dan (1b) merupakan tuturan yang sesuai dengan kaidah dan seharusnya digunakan.

* (1) Siapa namanya?

(1a) Siapa namamu?

(1b) Siapa nama Anda?

Hal itu berkaitan dengan ciri lain yang mengabaikan bahasa lisan dan memumpunkan pada bahasa tulis baku. Artinya, tata bahasa tradisional cenderung mengacuhtakacuhkan bahasa lisan, dan menganakemaskan bahasa tulis (dan itupun yang baku) dalam penyusunan aturan-aturan kebahasaannya. Padahal, bahasa tidak hanya tulis tetapi juga lisan, bahkan yang lisan itu primer, dan yang tulis itu sekunder. Tidakkah tuturan (1) lebih sering digunakan daripada tuturan (1a), dan (1b) pada bahasa lisan?

Di samping itu, analisis maupun penjelasan konsepnya berdasarkan nosi atau arti. Alisjahbana (1980: 79) dalam Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia menjelaskan katabenda atau substantif sebagai berikut.

Menurut pengertian yang dinamakan katabenda ialah nama daripada benda dan segala sesuatu yang dibendakan”.

Tidak hanya itu, struktur sintaksispun dibatasi berdasarkan nosi sehingga batasan itu tidak jelas (Alwasilah, 1989: 35).

Kalimat adalah sekelompok kata-kata yang menyatakan pikiran lengkap dan memiliki subjek dan predikat.

Subjek adalah sesuatu tentang mana sesuatu itu dibicarakan.

Predikat adalah sesuatu yang dikatakan tentang subjek.

Analisis tata bahasa tradisional mendasarkan pada kaidah bahasa lain terutama Yunani, Romawi, dan Latin. Semua mafhum bahwa karakteristiik bahasa Indonesia, misalnya, tidak sama dengan bahasa-bahasa tersebut. Bahasa Yunani, Romawi, dan Latin tergolong bahasa deklinatif, yaitu yang perubahan katanya menunjukkan kategori, kasus, jumlah, atau jenisnya (Kridalaksana,1984: 36), sedangkan bahasa Indonesia tergolong sebagai bahasa inflektif, yaitu perubahan bentuk katanya menunjukkan hubungan gramatikal (Kridalaksana, 1984: 75). Oleh karena itu, analisis yang demikian akan menjumpai berbagai kesulitan, seumpama mematut-patutkan baju orang lain dengan badan sendiri. Belum tentu pas, bukan?

Logika sebagai filsafat berpikir juga dijadikan landasan dan orientasi kajiannya. Penyebutan subjek dan predikat dalam kalimat jelas-jelas menunjukkan bahwa analisis kalimat yang termasuk bidang linguistika dengan demikian seharusnya menggunakan terminologi linguistika, ternyata menggunakan terminologi logika. Bukan hanya adopsi terminologi, tetapi penentuan hubungan subjek-predikat pun terpengaruh oleh pola proposisi kategorik standar dalam logika (Soekadijo, 1985: 4-5).

Pada 1910, Sasrasoeganda menulis Kitab jang Menjatakan Djalan Bahasa Melajoe, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana merupakan buku teks yang sangat berpengaruh di kalangan guru pada waktu itu (Kridalaksana, 1985: 58). Padahal, buku tersebut jelas-jelas ditulis berdasarkan tradisi Yunani-Romawi sebagaimana diintroduksi oleh Thrax ataupun Joannes Ramon. Hal itu terbukti dalam pembahasannya, misal: perkataan nama benda, perkataan nama sefai, perkataan pengganti nama, perkataan pekerjaan, perkataan bilangan, perkataan tambahan, perkataan pengantar (baca: preposisi), perkataan penghubung, dan perkataan penyeru (Kridalaksana, 1985: 60). Buku Sasrasoeganda tersebut disusun berdasar karya van Wijk (1889) Spraakleer der Maleiche Taal yang notabene juga memboyong tradisi Yunani-Romawi.

Di Tanah Semenanjung (atau Malaysia), pada 1940 terbit karya Za’ba berjudul Pelita Bahasa Melayu yang dipengaruhi oleh buku Winstedt Malay Grammar (1914). Selang dua tahun, pada 1942 di Indonesia terbit Djalan Bahasa Indonesia karya Soetan Moehammad Zain. Berturut-turut setelah itu Ilmu Saraf Indonesia (1944) karya B.R. Motik, Tatabahasa Indonesia (1946) karya Husain Munaf, Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1 (1949) karya Sutan Takdir Alisjahbana, yang setahun kemudian (1950) disusul buku kedua Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2. Pada tahun yang sama (1950) terbit juga karya Fokker Beknopte Grammatica van de Bahasa Indonesia, dan karya Armijn Pane Mentjari Sendi Baru Tatabahasa Indonesia. C.A. Mees pada 1953 menulis Tatabahasa Indonesia, kemudian Poedjawijatna dan Zoetmulder menulis Tatabahasa Indonesia I, II (1955). Pada 1956 Slametmuljana menulis Kaidah Bahasa Indonesia I, II, Tardjan Hadidjaja Tatabahasa Indonesia, Batuah Zainnudin Dasar-dasar Tatabahasa Indonesia. Pada 1964 Soetarna menerbitkan Sari Tatabahasa Indonesia.

Buku-buku tersebut pada masanya dijadikan rujukan dalam pengkajian maupun pengajaran bahasa Indonesia. Buku-buku itu tergolong berpendekatan tata bahasa tradisional. Seperti pada buku Mees (1953), pembahasan kopula adalah, jadi, dan menjadi membuktikan ciri translingual dengan memindahkan kaidah bahasa Eropa ke dalam bahasa Indonesia. Penjenisan objek, sebagaimana dilakukan Sutarno (1964: 86), atas (1)objek penderita, (2)objek pelaku, (3)objek penyerta, dan (4)objek berkata depan menampakkan pengaruh deklinasi seperti telah dibahas di muka sesungguhnya takbersesuaian dengan tabiat bahasa Indonesia.

Tidak dikupasnya masalah bunyi (lebih-lebih fonetik) dalam buku-buku tersebut, dan kalaupun dibicarakan terbatas pada fonem yang juga dikacaukan dengan grafem, hal itu membuktikan bahwa pengaruh tata bahasa tradisional yang terpumpun pada bahasa tulis terjadi juga pada buku-buku tersebut. Alisjahbana, misalnya, tidak menyinggung sedikitpun tentang bunyi, baik itu fona maupun fonem. Pembahasannya terfokus pada pola suku kata sebagai dasar pola kata dasar (Alisjahbana, 1980: 10-17). Jadi, fona dan fonem yang lebih kecil dan mendasari silabel atau suku kata dilewatinya.

Begitupun penjelasan konsep yang terjadi pada buku-buku tersebut yang banyak didasarkan pada nosi atau makna mengindikasikan dominasi tradisional pada karya tersebut.

Kalimat tunggal. Yakni kalimat yang dalam hubungannya dengan yang lain dapat dianggap berdiri sendiri. Kalimat ini hanya terdiri dari SATU SUBJEK dan SATU PREDIKAT.

Kalimat majemuk. Yakni kalimat yang terdiri atas beberapa kalimat tunggal. (Sutarno, 1964: 64)

Oleh karena itu, cukup beralasan untuk mengatakan bahwa sampai dengan sebelum 1965-an perkembangan linguistik di Indonesia terdominasi oleh tata bahasa tradisional.

Tampaknya, buku Sutan Takdir Alisjahbana perlu mendapat sejumput pembahasan, dan sayang jika dilewatkan begitu saja pada tulisan historiografi ini. Mengapa demikian? Kedua buku tersebut sampai dengan awal 1970-an dicetak ulang lebih dari 20 kali. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1, sampai dengan 1970, mengalami cetak ulang ketiga puluh kali. Pada 1976 buku itu sudah sampai pada cetakan keempat puluh. Begitupun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2, sampai pada 1970, telah mengalami cetak ulang kedua puluh enam, dan 1978 baru cetak ulang keduapuluh sembilan. Fenomena apakah itu? Jika cetak ulang itu dapat disikapi sebagai indikator luasnya persebaran kedua buku tersebut, maka hal itu berarti bahwa paradigma tradisional yang melekat pada kedua buku tersebut juga begitu meluas (baca: dominan).

2. Periode Dominasi Struktural (1965-an s.d. 1985-an)

Pada 1970 terbit buku Tatabahasa Indonesia: Untuk Sekolah Lanjutan Atas karya Gorys Keraf. Lewat buku ini aliran struktural mulai dikenal teristimewa dalam bidang pengajaran bahasa Indonesia. Tampaknya introduksi Keraf bergaung benar. Setiap tahun buku ini mengalami cetak ulang. Dominasi struktural semakin kokoh, ketika pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, melakukan perubahan kurikulum dari Rencana Pendidikan dan Pelajaran 1968 ke Kurikulum 1975. Dalam Kurikulum 1975 itu mata pelajaran bahasa Indonesia membagi pokok-pokok bahasannya dalam 9 pokok bahasan: (1)tata bunyi, (2)tata bentukan, (3)tata kalimat, (4)paragraf, (5)gaya bahasa, (6)kosa kata, (7)diskusi, (8)sastra, dan (9)menulis (Yohanes, 1988: 175). Tidakkah pokok-pokok bahasan itu (terutama keempat pokok bahasan pertama) menyuratkan penancapan struktural dalam pengajaran bahasa Indonesia?

Berbarengan dengan itu, pada 11—15 November 1975 di Bandung diselenggarakan Lokakarya Penyusunan Tatabahasa Bahasa Indonesia yang tiga makalahnya membicarakan tata bahasa struktural. Makalah yang dimaksud “Penyusunan Tatabahasa Struktural Bahasa Indonesia” oleh M. Ramlan, “Pedoman Penyusunan Tatabahasa Struktural” oleh Gorys Keraf, dan “Penyusunan Tatabahasa Struktural” oleh Anton M. Moeliono, yang kemudian terhimpun dalam Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia suntingan Yus Rusyana dan Samsuri pada 1976. Buku tersebut sangat jelas menampakkan orientasi struktural sebagai arah penyusunan tata bahasa bahasa Indonesia.

Pada periode ini juga karya M. Ramlan Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi yang sesungguhnya terbit pertama kali pada 1967, sampai akhir 1970-an mengalami cetak ulang lima kali. Walaupun baru terbit 1981 bukunya Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis bersama buku sebelumnya menandai berkembangnya struktural dalam kancah linguistik di Indonesia. Begitupun terbitnya karya Samsuri Analisa Bahasa (1978) membuktikan mencuatnya struktural pada periode ini. Disertasi Sudaryanto (1979) di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-Urutan merupakan bukti lain perkembangan teori struktural pada periode ini.

Manakala perkembangan linguistik di Indonesia tidak dibatasi pada objek bahasa Indonesia tetapi dicakup juga bahasa-bahasa daerah atau bahasa nusantara, periode ini semakin memperoleh banyak bukti bahwa struktural mendominasinya. Oleh pacuan dan picuan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, pada 1970-a ini mulai semarak penelitian bahasa-bahasa daerah dengan kerangka teori struktural. Fonologi Bahasa Karo (1972), Morfologi Bahasa Simalungun (1972), Sintaksis Bahasa Simalungun (1977) oleh H.G. Tarigan merupakan contohnya. Contoh lain Morfologi Bahasa Gorontalo (1980) oleh Badudu, Struktur Bahasa Makasar (1980) oleh Djirong Basang, Struktur Bahasa Tehid (1981) oleh Don Al Flassy, Kajian Morfologi Bahasa Jawa (1982) oleh Uhlenbeck, Sistem dan Struktur Bahasa Sunda (1983) oleh R.H. Robin, Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon (1985) oleh Abdurachman, Struktur Bahasa Lampung (1985) oleh Aidy Ruslan Satur, dan sebagainya.

Tatabahasa struktural mendasarkan analisisnya pada karakteristik bahasa yang bersangkutan sebagaimana adanya bukan didasarkan pada kaidah bahasa lain. Dengan demikian, kajiannya bersifat deskriptif. Sesuai namanya, pengkajian tidak didasarkan pada nosi atau arti, tetapi pada struktur atau perilakunya dalam sruktur: fona dalam fonem, fonem dalam silabel, silabel dalam leksem, leksem dalam tagmem (frasa, klausa, kalimat). Untuk menggambarkan struktur tertentu, struktur tersebut ditempatkan pada kontinum struktur lain yang melingkupinya.

Simposium tata bahasa tentang kata majemuk pada 20 Oktober 1979 merumuskan simpulan, di antaranya sebagai berikut.

1. Prinsip yang harus dipegang di dalam mengidentifikasikan apakah suatu konstruksi merupakan konstruksi majemuk atau tidak ialah bahwa konstruksi itu memperlihatkan derajat keeratan yang tinggi sehingga merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

2. Sebagai konstruksi yang tak terpisahkan, konstruksi majemuk berperilaku sebagai kata, artinya masing-masing konstituen konstruksi hilang otonominya. Hilannya otonomi itu berarti bahwa masing-masing konstituen tidak dapat dimodifikasikan secara terpisah, maupun di antaranya tidakdapat disisipkan morfem lain tanpa perubahan atas makna aslinya. (Parera, 1988: 117-118)

Rumusan simpulan tersebut dengan jelas menunjukkan penggunaan teori struktural dalam pengindentifikasian konstruksi majemuk seperti tersurat pada istilah (1)konstruksi, (2)kesatuan, (3)konstituen konstruksi, (4)derajat keeratan, dan (5)disisipi.

Bagaimanakah Ramlan dalam buku Sintaksis mengidentifikasi kalimat tanya? Kalimat tanya, menurut Ramlan (1981: 33), berpola intonasi [2] 3// [2] 3 2 Ú. Pola tersebut berbeda dengan pola kalimat berita [2] 3 // [2] 3 1 Ø, atau pola intonasi kalimat suruh 2 3 Ø atau 2 3 2 Ø (Ramlan, 1981: 32-45). Pengidentifikasian seperti itu menunjukkan bahwa nosi tidak lagi menjadi kerangka konsep struktural, melainkan struktur otonom satuan bahasa yang didesripsikanlah yang dijadikan pijakannya.

3. Periode Dominasi Transformasional di Tengah Variasi (1985-an s.d. akhir 1990-an)

Pengenalan transformasional salah satunya dilakukan oleh Samsuri pada dua bab terakhir buku Analisa Bahasa (1980) pada edisi kedua. Lewat makalah yang disajikan dalam berbagai kesempatan, khususnya Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atmajaya (PELLBA), Bambang Kaswanti Purwo ( dan juga Soenjono Dardjowidjojo) patut dicatat juga sebagai introduktor dan eksplorator transformasional dalam kajian bahasa Indonesia dan juga bahasa-bahasa nusantara. Misalnya, dalam Simposium Linguistik 1985 (embrio PELLBA) berapa teori mutakhir di bidang linguistik disajikan: “Aliran Transformasional 1957—1965” oleh Samsuri, “Perkembangan Aliran Transformasional 1965 – Kini” oleh Riga Adiwoso, “Teori Tagmemik” oleh Stephanus Djawanai, “Tatabahasa Relasional” oleh Bambang Kaswanti Purwo (Dardjowidjojo, 1987).

Terbitnya dua buku J.D. Parera pada 1988, yaitu Morfologi, dan Sintaksis semakin mempertegas kecenderungan kajian dengan landasan teori transformasional. Sebagai contoh penggunaan teori transformasi, Parera dalam salah satu babnya menguraikan secara transformasional kata petinju dan peninju sebagai berikut (Parera, 1988a: 28).

petinju = Nor + ber—Vd > pe – Vd

peninju = Nor + meN—Vd > peN -- Vd

Contoh tersebut menunjukkan bahwa dalam tata bahasa transformasional, struktur dalam (deep structure) ditransformasikan ke struktur luar (surface structure). Secara generatif transformasional kata, petinju dibentuk melalui verba bertinju, sedangkan kata peninju dibentuk melalui verba meninju. Jadi, pembentukan itu tidak langsung dari dasar tinju.

Kalimat “Ia membaca buku.”, misalnya, berdasarkan kaidah transformasional akan diterangkan sebagai berikut.

1. K Õ GB + GK

2. GB Õ N1

3. GK Õ V + N2

4. N1 Õ ia

5. V Õ membaca

6. N2 Õ buku

Secara transformasional, Kalimat itu terbentuk oleh Gatra Benda plus Gatra Kerja. Pengisi Gatra Benda adalah Nomen ia, sedangkan pengisi Gatra Kerja adalah Verbum membaca, dan Nomen buku. Dengan model analisis immediate contstituents (IC) yang diintroduksikan oleh Chomsky, kalimat tersebut berdiagram pohon (diagram akar) sebagai berikut.

Penggunaan teori transformasional tersebut semakin tampak pada Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBI) yang diterbitkan bersamaan dengan Kongres Bahasa V, pada 1988. Walaupun TBBI memperlihatkan keeklektisan teori-teori, namun transformasional cukup ambil peran. Perhatikanlah bagaimana TBBI menerangkan morfologi verba, nomina, ataupun adjektiva. Istilah ‘penurunan’ senantiasa digunakan untuk itu (Alwi, 1993: 144-163)

4.6.1 Penurunan Verba Taktransitif

4.6.1.1 Verba Taktransitif Asal

4.6.1.2 Penurunan Verba Taktransitif dengan meng-

4.6.1.3 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber-

4.6.1.4 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber--kan

4.6.1.5 Penurunan Verba Taktransitif dengan ber--an

4.6.1.6 Penurunan Verba Taktransitif dengan ter-

4.6.1.7 Penurunan Verba Taktransitif dengan ke--an

4.6.1.8 Penurunan Verba Taktransitif dengan Perulangan

Pada bab Nomina, Pronomina, dan Numeralia, khususnya penurunan nomina dengan per—an, misalnya, digunakanlah uraian dan contoh berikut (Alwi, 1993: 258-259)

“Nomina dengan per – an juga diturunkan dari verba, tetapi umumnya dari verba taktransitif dan berawalan ber-. Akan tetapi, ada pula nomina per – an yang berkaitan dengan verba meng- atau memper- yang berstatus transitif.

perjanjian ->berjanji

pergerakan -> bergerak

pergelaran -> menggelar

pertahanan -> mempertahankan

perlawanan -> melawan

permintaan -> meminta

Meski demikian, teori-teori lain baik yang sebelumnya sudah diintroduksi maupun teori baru terus dikembangkan sehingga menampakkan kevariasian teori. Variasi teori tampak pada penerbitan karya-karya terjemahan dari buku-buku babon di ilmu bahasa oleh ILDEP. Misalnya, Ilmu Bahasa: Pengantar Dasar (1982) karya Unlenbeck, Ilmu Bahasa: Pengantar (1987) karya Andre Marinet, Ilmu Bahasa Lapangan (1988) karya William J. Samarin, Pengantar Linguistik Umum (1988) karya Ferdinand de Saussure, Bahasa Indonesia: Deskripsi dan Teori (1991) karya N.F. Alieva dkk., Linguistik Umum (1992) karya R.H. Robins. Karya John Lyons Pengantar Teori Linguistik (1995) diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Di dunia pengajaran bahasa Indonesia, pada 1984 terjadi inovasi penggunaan pendekatan komunikatif pragmatikal yang menggeser pendekatan strukural gramatikal. Tentu saja asumsinya bahwa pendekatan tersebut tidak dapat dipisahkan dari teori bahasa yang mendasarinya. Pada 1994, ketika terjadi perubahan kurikulum, dalam pengajaran bahasa Indonesia penggunaan pendekatan komunikatif pragmatikal semakin dikukuhkan dalam label pendekatan tematis, integratif, dan komunikatif (Yohanes, 1993: 1-4). Terkait dengan masuknya pragmatik dalam kancah studi linguistik di Indonesia, penelitian Bambang Kaswanti Purwa Deiksis dalam Bahasa Indonesia (1984) patut dicatat sebagai pelopornya. Begitupun penerbitan terjemahan buku babon bidang pragmatik seperti Prinsip-Prinsip Pragmatik (1995) karya Geoffry Leech, dan Analisis Wacana (1996) karya Gillian Brown dan George Yull membuktikan kevariasian yang terjadi pada periode ini. Pemasukan bab Wacana dalam TBBI (1988) memperkuat gambaran kevariasian pada periode ini.

Kevariasian juga mewarnai periode ini dengan perkembangan ilmu-ilmu hibridis di bidang bahasa. Misalnya, hibrida antara psikologi dan linguistik seperti karya Sri Utari Subyakto-Nababan Psikolinguistik:Suatu Pengantar (1988), karya Soenjono Dardjowidjojo Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia (2000), hibrida antara sosiologi dan linguistik yang menjadi sosiolinguistik seperti Sosiolinguistik (1985) karya Chaedar Alwasilah, Sosiolinguistik (1987) karya Mansoer Pateda, atau Sosiologi Bahasa (1988) karya Suwito. Lembaga Bahasa Atma Jaya bersama BPPT pada 1988 merintis hibrida antara ilmu komputer dan linguistik yang melahirkan linguistik komputal.

Pada 1993, Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) menerbitkan Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya dalam dua jilid. Dalam bunga rampai ini terhimpun tulisan antara 1988-1991 dari para anggota MLI. Tulisan-tulisan itu menampakkan adanya ciri kevariasian teori yang berkembang selama periode tersebut. “Transformasi Pemindahan dalam Bahasa Mandar” karya Ba’dulu, “Interaksi Negasi dengan Numeralia” karya Sudaryono, “Suatu Kajian Verba Kausatif Indonesia” karya Garantjang, sekadar contoh kajian transformasional dalam bunga rampai tersebut. “Ketegaran Letak Keterangan Cara, Tempat, dan Waktu dalam Bahasa Indonesia” tulisan Dhanawaty, “Kata sebagai Satuan Sentral Kajian Morfologi: Ancangan Dasar Morfologi Struktural” tulisan Ekowardono, keduanya menggunakan teori struktural. “Kesatuan Topik dalam Wacana Eksposisi, Deskripsi, dan Narasi dalam Bahasa Indonesia” tulisan Baryadi menerapkan pendekatan analisis wacana. Tulisan yang terhimpun dalam jilid II diikat oleh kajian yang bersifat hibridis, dan terapan. “Tingkat Tutur Bahasa Melayu Palembang” karya Arifin, “Beberapa Konsep Semantik Murni dan Kaitan Mereka dengan Ragam bahasa Ilmiah” karya Sukemi, “Bentuk Tutur Pedagang Kaki Lima Kotamadya Semarang” karya Suryadi, adalah contoh kajian dari perspektif sosiolinguistik. Yang terapan tampak pada “Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Daerah: Kasus dalam Bahasa Bali” oleh Sumarsono, “Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar” oleh Purwo.

4. Periode Warna-warni Teori (Awal 2000-an)

Oleh sebab perkembangan seperti tergambar pada periode sebelumnya, kini (pada awal 2000-an), studi linguistik di Indonesia berwarna-warni ibarat taman bunga. Hal itu dapat dipahami karena seperti telah dikatakan sebelumnya ciri yang ada pada periode sebelumnya tidak berarti stagnan atau mandeg pada periode berikutnya. Pada periode tertentu yang terjadi hanyalah dominasi teori tertentu, akan tetapi teori lain yang berkembang pada periode sebelumnya tidak berarti mati. Sebab lain adalah periode ini dengan demikian merupakan muara akhir atau akumulasi teori-teori yang pernah berlaku.

Kewarna-warnian itu dapat dilihat bahwa kajian berdasar teori tradisional pada periode ini masih juga mewarnai peristiwa linguistis (penelitian ataupun pengajaran) bahasa Indonesia. Demikianpun kajian berdasar teori struktural, transformasional. Apalagi kajian pragmatik, psikolinguistik, sosiolinguistik, ekologilinguistik. Beberapa tulisan yang terhimpun dalam PELLBA 16 (2003), misalnya dapat memperjelas mozaik tersebut. Tulisan Bernard Comrie “Some Thoughts on ‘give’ in Austronesian and Papuan Languages” memadukan kajian gramatikal dan pragmatikal, Bambang Kaswanti Purwo Konstruksi Bitransitif: Tipe ‘beri’ dan ‘beli’ didasarkan atas strukural dan transformasional, dan tulisan I Wayan Arka “Tatabahasa Leksikal-Fungsional: Prinsip-prinsip Utama dan Tantangannya bagi Analisis Bahasa Nusantara” didasarkan pada teori tradisional, termasuk juga tulisan Peter Austin “The Linguistic Ecology of Lombok, Eastern Indonesia” memadukan ekologi dan linguistik.

Dalam tatapan perkembangan linguistik, kondisi tersebut harus disikapi sebagai hal postif. Di masa datang (barang kali 2005, atau 2010, atau entah kapan) karena sifat bangsa Indonesia yang gemar mengharmonisasikan keragaman dan keperbedaan, dapat diharapkan muncul teori baru. Siapa tahu? Atau barang kali setelah beragam teori itu diaplikasikan dalam repertoar bahasa-bahasa di Indonesia, akan muncul juga teori baru sebagai pemberontakan atas ketidakcocokan teori dengan karakteristik bahasa-bahasa di Indonesia. Siapa tahu? Dengan kata lain, kevariasian itu diharapkan bermuara pada keeklektisan, yaitu keterpaduan keunggulan beragam teori dengan repertoar bahasa-bahasa di Indonesia, akhirnya melahirkan teori berkarakteristik Indonesia.

Penutupan

Berdasarkan bahasan tersebut, tampak bahwa kecenderungan pengkajian bahasa di Indonesia pada periode tertentu tertinggal sekian tahun bahkan sekian abad kemudian dengan pengkajian bahasa-bahasa di dunia. Perkembangan ilmu bahasa di Indonesia tertinggal dengan perkembangan linguistik pada tingkat global. Tatabahasa tradisional yang booming pada 400 SM, di Indonesia baru memperoleh wujudnya pada 1950-an, misal pada Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia Sutan Takdir Alisjahbana, atau baru berwujud pada 1653 ketika Joannes Ramon menulis tata bahasa Melajoe. Berapa abad linguistik di Indonesia tertinggal? Dua puluh tiga abad (400SM – 1950) atau dua puluh abad (400SM – 1653). Demikianpun tata bahasa struktural yang di persemaiannya sudah hidup pada 1930-an (Bloomfield, de Saussure), di Indonesia baru diintroduksi dan mulai dikembangkan pada 1965-an dengan booming-nya pada akhir 1970-an. Itu berarti lima windu atau 40 tahun tertinggal (1930 – 1970). Tatabahasa transformasional yang disemai oleh Chomsky pada kisaran 1950-an s.d. 1960-an, baru berkembang di Indonesia pada 1985-an s.d. akhir 1990-an. Meskipun sudah lebih dekat jaraknya, linguistik di Indonesia tetap tertinggal lebih dari tiga dasa warsa atau, sekitar 35 tahun (1950 – 1985). Tatabahasa Tagmemik yang dikembangkan Pike pada akhir 1960-an dan berlanjut pada Pragmatik pada awal 1970-an (Fodor, Postal), baru gayung bersambut pada 1985-an di Indonesia. Kembali perkembangan linguistik di Indonesia terlambat antara 10 sampai 20 tahun. Mengapa begitu?

Jika perkembangan ilmu pengetahuan identik dengan perkembangan kesejahteraan atau kemapanan ekonomis ilmuwan baik secara individual maupun komunal, atau bahkan tingkat kemakmuran/kesejahteraan menjadi prakondisi pengembangan ilmu, maka dapat diduga bahwa ketertinggalan perkembangan linguistik di Indonesia berkait erat dengan –untuk tidak mengatakan disebabkan oleh- ketertinggalan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Dengan kata lain, orang tidak mungkin berpikir secara optimal dalam kondisi perut minimal alias lapar. Simak saja catatan historis yang terjadi di Athena maupun Miletos pada masa Thales (625 SM), atau Plato (427 SM), atau Aristoteles (384 SM), pemikiran filsafati yang terjadi pada masa-masa itu berkait erat dengan kejayaan dan kemakmuran bangsa Yunani pada masa itu.

Persoalan yang wigati sekarang adalah bagaimana berikutnya. Akankah linguistik Indonesia berpasrah diri dengan ketertinggalannya? Ataukah dengan kondisi kewarna-warnian pada awal 2000-an tersebut, akan lahir teori baru dari kancah studi linguistik di Indonesia sehingga dunia melirikan mata (syukur jika membelalakan mata) ke perkembangan linguistik di Indonesia? Semuanya bergantung pada manusia pemikirnya (baca: ahli bahasa) yang terdidik di program-program sarjana maupun pascasarjana, khususnya program S3. Inilah tantangan kita!

Daftar Acuan

Alieva, N.F. dkk. 1991. Bahasa Indonesia: Deskripsi dan Teori. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Alisjahbana, S. Takdir. 1980. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Alwasilah, Chaedar. 1989. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Alwi, Hasan, p. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Arifin, Siti Salamah. 1993. “Tingkat Tutur Bahasa Melayu Palembang” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Ba’dulu, Abdul Muis. 1993. “Transformasi Pemindahan dalam Bahasa Mandar” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Baryadi, I. Praptomo. 1993. “Kesatuan Topik dalam Wacana Eksposisi, Deskripsi, dan Narasi dalam Bahasa Indonesia” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Dardjowidjojo, Soenyono, ed. 1985. Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Arcan.

Dardjowidjojo, Soenjono, p. 1987. Linguistik: Teori & Terapan. Jakarta: Lembaga Bahasa Universitas Katolik Atma Jaya.

Dardjowidjoyo, Soenjono. 2000. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

de Saussure, Ferdinand. 1998. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Dhanawaty, Ni Made. 1993. “Ketegaran Letak Keterangan Cara, Tempat, dan Waktu dalam Bahasa Indonesia” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Ekowardono, B. Karno. 1993. “Kata sebagai Satuan Sentral Kajian Morfologi: Ancangan Dasar Morfologi Struktural” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Garantjang, Ahmad. 1993. “Suatu Kajian Verba Kausatif Indonesia” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Hadiwijono, Harun. 1983. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.

Harsono, A. 1979. Tata Bahasa Indonesia Tradisional. Yogyakarta: Penerbit FKSS IKIP Yogyakarta.

Keraf, Gorys. 1970. Tatabahasa Indonesia. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti, 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Kridalaksana, Harimurti. 1985. “Suatu Rintisan dalam Historiografi Linguistik Indonesia” dalam Dardjowidjojo (ed.) Perkembangan Linguistik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Arcan.

Kridalaksana, Harimurti, p. 1993. Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I, II. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa: Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Parera, Jos Daniel. 1988a. Morfologi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Parera, Jos Daniel. 1988b. Sintaksis. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Pateda, Mansoer. 1990. Linguistik: Sebuah Pengantar. Bandung: Penerbit Angkasa.

Pike, Kenneth L. 1992. Konsep Linguistik: Pengantar Teori Tagmemik. Jakarta: Summer Istitute of Linguistics.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1984. Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1993. “Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Purwo, Bambang Kaswanti, p. 2003. Pellba 16: Tipologi Bahasa, Sintaksis, Sosiolinguistik, Pragmatik, Linguistik Historis. Jakarta: PKBB Unika Atma Jaya.

Ramlan, M. 1985. Ilmu Bahasa Indonesia: Morfologi. Yogyakarta: UP Karyono.

Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: UP Karyono.

Robins, R.H. 1992. Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Robins, R.H. 1995. Sejarah Singkat Linguistik. Bandung: Penerbit ITB.

Rusyana, Yus dan Samsuri. 1976. Pedoman Penulisan Tatabahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Samsuri. 1980. Analisa Bahasa: Memahami Bahasa Secara Ilmiah. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia.

Soekadijo, R.G. 1985. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik, dan Induktif. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Sudaryanto. 1983. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-urutan. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Sudaryono. 1993. “Interaksi Negasi dengan Numeralia” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya I. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Sukemi. 1993. “Beberapa Konsep Semantik Murni dan Kaitan Mereka dengan Ragam Bahasa Ilmiah” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Sulaiman, Syaf E. 1973. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Penerbit Swadaya.

Sumarsono. 1993. “Pragmatik dalam pengajaran Bahasa Daerah: Kasus dalam Bahasa Bali” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Suryadi, M. 1993. “Bentuk Tutur pedagang Kaki Lima Kotamadya Semarang” dalam Kridalaksana (p.) Penyelidikan Bahasa dan Perkembangan Wawasannya II. Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia.

Sutarno. 1976. Sari Tatabahasa Indonesia. Surakarta: Penerbit Widya Duta.

Uhlenbeck, E.M. 1982. Kajian Morfologi Bahasa Jawa. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Verhaar, J.W.M. 1984. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wojowasito, S. 1961. Linguistik: Sejarah Ilmu Perbandingan Bahasa. Jakarta: Gunung Agung.

Yayasan Idayu. 1988. Bibliografi Bahasa & Kesusastraan Indonesia dan Daerah 1945 – 1988. Jakarta: CV Haji Masagung.

Yohanes, Budinuryanta. 1988. “Ilmu Sastra Bandingan dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia” dalam Rahmanto, B. (p.) 25 Tahun JPBSI: Bunga Rampai Bahasa, Sastra & Pengajarannya. Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma.

Yohanes, Budinuryanta. 1993. “Tematis, Integratif, dan Komunikatif dalam Kurikulum 1994: Strategi Alternatif” dalam Seminar Pembelajaran Bahasa Komunikatif. Surabaya: JPBSI FPBS IKIP Surabaya.

PROBLEMATIKA PEMBELAJARAN SASTRA: TINJAUAN PADA ASPEK GURU


Pendahuluan

Sejak kapankah muncul keluhan ketidakpuasan atas pengajaran sastra? Ajip Rosidi, sebagaimana dikutip Rusjana (1984:324), mengatakan bahwa sudah sejak kira-kira 1955 masalah pengajaran sastra, khususnya apresiasi sastra, diperbincangkan oleh sastrawan dan pengajar atau guru sastra karena dirasakan tidak memenuhi harapan. Jika demikian, bahasa Indonesia (termasuk sastra Indonesia) yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak permulaan kemerdekaan bangsa (Burhan, 1971:9), setelah kurang lebih satu dasawarsa, berdasarkan amatan Burhan dinilai belum terkuasai dengan baik. Dengan kata lain, pengajaran bahasa dan sastra Indonesia belum berhasil melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Tampaknya, sampai kini (2004) keluhan itu belum sirna. Sakdiyah, salah seorang guru bahasa Indonesia, mengakui bahwa dirinya belum berhasil menyelenggarakan pembelajaran sastra yang apresiatif, menurutnya masih relatif kecil/sedikit guru bahasa Indonesia dapat berperan sekaligus sebagai guru sastra (Sakdiyah, 2004:4). Walaupun keberhasilan pembelajaran sastra ditentukan oleh banyak aspek, tulisan ini bermaksud memperbicangkan problematika pembelajaran sastra ditinjau dari salah satu aspek, yaitu guru. Pembahasan meliputi (1)pendidikan prajabatan guru sastra, (2)kompetensi guru sastra, (3)profesionalisasi guru sastra, dan berlanjut pada pengajuan (4)solusi, walaupun sekadar sebagai alternasi.

1. Pendidikan Prajabatan Guru Sastra

Kualitas guru, termasuk guru sastra, pertama-tama ditentukan oleh pendidikan prajabatan yang diperolehnya di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) (Jalal dan Supriadi, 2001:245). Di lembaga itulah, calon guru digembleng sehingga beroleh kemampuan (pengetahuan dan keterampilan) serta sikap-sikap keguruan yang dapat digunakan sebagai bekal penyelenggraan pembelajaran di sekolah-sekolah. Hal itu berarti mutu LPTK (kurikulum, tenaga akademik, sarana dan prasarana, sistem pembelajaran, dan lain-lain) berkorelasi dengan mutu lulusannya.

Pada segi ini, dunia pendidikan di Indonesia pernah mengalami situasi yang kurang menguntungkan bagi peningkatan mutu lulusan. Pada dasawarsa 80-an, bermunculan LPTK swasta bersamaan dengan booming-nya pendidikan tinggi yang lain. Hal tersebut mengakibatkan kurang –untuk tidak mengatakan tidak- terkontrolnya mutu LPTK beserta lulusannya. Jumlah lulusan meledak, tetapi mutunya pantas dipertanyakan, semenatara pada saat yang sama kebutuhan guru juga tinggi dan sistem seleksi atau perekrutannya juga masih longgar. Terjadilah yang harus terjadi: seperti apapun mutu lulusan LPTK, mereka terangkat menjadi guru (bahasa dan sastra). Oleh karena itu, bukan tidak mungkin bahwa problematika pembelajaran sastra di sekolah-sekolah yang sekarang ini masih terjadi diakibatkan oleh guru yang kurang bermutu tersebut.

Sungguhkah LPTK secara umum ikut berkontribusi pada timbulnya problematika pembelajaran sastra di sekolah-sekolah? Dari segi kurikulum, selama ini kurikulum LPTK disita secara berlebihan oleh kelompok matakuliah dasar umum (MKDU atau MPB) yang tidak secara langsung menyumbangkan pengetahuan dan keterampilan terhadap pembentukan kompetensi dan profesionalisasi guru.

Sekadar contoh, dari 156 SKS yang dibebankan pada mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 12 sks untuk MKU, 13 sks untuk MKDK, 19 sks MKK, 94 sks MKBS, dan 18 sks untuk pilihan. MKU adalah kelompok mata kuliah yang betujuan membentuk kepribadiaan keindonesiaan, MKDK dan MKK adalah kelompok matakuliah yang bertujuan membekali pengetahuan dan keterampilan serta sikap keguruan, dan MKBS adalah kelompok matakuliah yang bertujuan membentuk kepakaran dalam bidang studi, sedang pilihan adalah kelompok matakuliah paket yang membekali keterampilan kerja tertentu yang masih bergayut dengan bidang studi. Jadi, 30 sks atau hampir 20 persen (MKU dan pilihan) tidak berkait langsung dengan pembentukan kompetensi dan profersionalisasi keguruan, dan hanya 32 sks atau 20 persen (MKDK dan MKK) yang berkaitan dengan profesionalisasi dan kompetensi keguruan, dan hanya 16 sks MKBS atau sekitar 11 persen yang berkaitan dengan sastra (apresiasi puisi, teori sastra, sejarah sastra, kritik sastra, kajian puisi, kajian prosa fiksi, apresiasi prosa fiksi, sastra bandingan). Bagaimana mungkin dengan 16 sks matakuliah sastra, dan 32 sks MKDK dan MKK (yang juga tidak terlalu spesifik pada sastra) lulusan LPTK dapat menjadi guru sastra yang bermutu?

Dengan demikian selama ini LPTK memberikan tekanan lebih besar (94 sks atau 60 persen lebih) pada pembekalan ilmu pengetahuan bidang studi, sementara di pihak lain kurang dalam pembentukan kepribadian kependidikan dan profesionalisasi. Kurangnya pembentukan aspek kepribadian kependidikan itu telah menghasilkan lulusan yang rendah komitmennya terhadap profesi, termasuk komitmen keteladanan bagi para pembelajar (Jalal dan Supriadi, 2001:246). Singkatnya, guru bahasa tidak dapat digugu dan ditiru dalam tutur bahasanya, demikianpun guru sastra tidak dapat digugu dan ditiru sikap apresiatifnya terhadap sastra.

Itupun belum dikaitkan dengan proses pembelajarannya, yang juga berkait dengan dosen, sarana dan prasarana di LPTK tersebut. Meskipun tidak sebagai generalisai, Gunharjo (2002:1) mencatat bahwa selama ini dosen sastra kurang bergaul dengan dunia sastra, mulai dengan kegiatan sastra di kampus hingga keterlibatannya di luar kampus. Buku-buku sastra yang tersediapun di samping terbatas jumlahnya, koleksinya tidak merekam seluruh repertoar sastra sejak masa lampau hingga yang mutakhir. LPTK tidak menyediakan atmosfir atau lingkungan bersastra bagi mahasiswa calon guru sastra. Al hasil lulusan LPTK, masih menurut Gunharjo, ketinggalan zaman alias kuper.

Bagaimana halnya dengan mahasiswa LPTK? Oleh karena penghargaan masyarakat (dan pemerintah) terhadap profesi keguruan dan tenaga kependidikan lainnya masih rendah, calon mahasiswa yang memasuki LPTK sebegaian besar berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah dengan latar belakang prestasi akademik rata-rata. Profesi guru pada umumnya tidak menarik bagi calon mahasiswa. Oleh karena itu, unsur keterpaksaan memasuki LPTK selalu saja ada. Dalam kondisi seperti itu, tidaklah relevan membicara profesi guru sebagai sebuah panggilan atau minat. Bagaimana dapat diharapkan mereka optimal terlibat dalam proses pembelajaran di LPTK, jika keterpaksaan atau tanpa minat menghinggapinya? Bagaimana dapat mencapai kualitas maksimal, jika mereka tidak optimal?

2.Kompetensi Guru Sastra

Sesungguhnya harus diakui bahwa sampai saat ini tidak ada guru sastra yang melulu mengajarkan sastra, tetapi pada umumnya guru sastra dirangkap secara eksofisio oleh guru bahasa. Memang dalam pelaksanaan Rentjana Pendidikan dan Pengadjaran 1968, mata pelajaran Bahasa Indonesia pernah muncul trikotomi guru bahasa Indonesia atas guru tata bahasa, guru pengetahuan atau kemahiran bahasa, dan guru kesusastraan sebagai akibat pembagian mata pelajaran bahasa Indonesia atas (1)kemahiran bahasa, (2)tata bahasa, dan (3)kesusastraan (Yohanes, 1988: 174-175). Walaupun pada saat pemberlakuan Kurikulum 1975 trikotomi itu masih terjadi, namun kecenderungan untuk menyatukan sembilan pokok bahasan –tata bunyi, tata bentukan, tata kalimat, paragraf, gaya bahasa, kosa kata, diskusi, sastra, dan menulis- eliminasi trikotomi terjadi juga, dan menuju pada integrasi pada satu guru. Lebih-lebih, ketika Kurikulum 1984 yang menganut pengembangan materi secara spiral dan penyajian dalam sistem unit, pengajaran pokok bahasan apresiasi bahasa dan sastra harus diintegrasikan dengan kelima pokok bahasan lain (membaca, kosa kata, struktur, menulis, dan pragmatik), maka guru sastra sekaligus sebagai guru bahasa, atau sebaliknya. Begitupun pada pemberlakuan Kurikulum 1994 yang berpendekatan integratif, tematis, dan komunikatif.

Penyatuan materi pembelajaran sastra dengan materi pembelajaran bahasa pada kurikulum-kurikulum tersebut, yang mengimperasi pengampuannya pada seorang guru, berakibat tidak menggembirakan dalam pelaksanaannya. Guru-guru yang tidak berminat pada sastra (karena suatu alasan), bisa jadi melewati begitu saja materi/pokok bahasan sastra. Tentu saja, sebaliknya, guru-guru yang berminat ke sastra boleh jadi menganaktirikan materi/pokok bahasan kebahasaan. Oleh sebab itu, bisa terjadi pada sekolah yang sama karena perbedaan guru yang mengampu mata pelajaran bahasa pada kelas paralel akan ditemui perbedaan pembelajaran.

Kompetensi macam apakah yang seharusnya dimiliki oleh guru sastra? Pertama, perlu dipertegas lebih dahulu esensi pembelajaran sastra, apakah pembelajaran sastra itu. Boen S. Oemarjati mengatakan bahwa esensi pengajaran sastra adalah memperkenalkan kepada siswa nilai-nilai yang dikandung dalam karya sastra, dan mengajak siswa ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan (Oemarjati, 1991b:61). Oleh karena itu, seorang guru sastra pasti dituntut untuk juga mengenal nilai-nilai dalam karya sastra, agar ia dapat juga mengenalkannya kepada para siswanya. Untuk dapat mengenali nilai-nilai tersebut, mau tidak mau ia harus menggauli karya sastra.

Hakikat tersebut mengimperasi bahwa kompetensi guru sastra tidak lain adalah seorang penikmat (baca: apresiator). Beach dan Marshall (1990:15-44) mengintroduksi perlunya guru sebagai pembaca sastra, teacher as a literature reader. Hal itu berarti seorang guru sastra harus memiliki kegemaran membaca, menggumuli, atau menikmati karya sastra. Ia harus menaruh kesenangan bahkan kecintaan terhadap sastra. Pengalaman reseptif yang demikian akan sangat membantu dirinya dalam pengelolaan pembelajaran sastra yang diselenggarakannya. Bagaimana guru itu akan dapat menerima perasaan iba dan haru para siswa setelah membaca Lintang Kemukus Dini Hari karya Ahmad Tohari, jika ia sendiri belum pernah ‘menyaksikan’ Srintil, si pemberontak tradisi peronggengan, yang dikhianati nasibnya?

Dalam konteks inilah, Oemarjati (1991a:44-47) menekankan perlunya pengalaman baca bagi seorang guru sastra sebagai bagian penciptaan wibawa guru. Terlebih-lebih dalam kondisi perkembangan sekarang, dimungkinkan karena daya ofensif dan eksploratifnya, siswa lebih dahulu mengetahui dan membaca karya sastra termutakhir sementara sang guru lebih belakangan. Hal seperti itu dapat dihindari manakala guru sastra menempatkan dirinya sebagai penikmat sastra juga. Secara begitu akan terbangun komunikasi atau keakraban guru-siswa-karya sastra (Oemarjati, 1992:198-199).

Guru sastra yang gemar membaca karya sastra, menurut Tuloli (1992:667), akan berpengaruh positif kepeda siswanya. Ia akan berwibawa di hadapan siswanya, serta dapat memberikan motivasi cara mempelajari karya sastra yang baik. Keteladanan guru sastra sebagai pembaca karya sastra diperlukan dalam pembelajaran sastra.

Kedua, haruslah diingat juga tujuan dan ruang lingkup pembelajaran sastra. Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi menggariskan bahwa tujuan dan fungsi mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai (1)sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2)sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3)sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu, pengetahuan, teknologi, dan seni, (4)sarana penyebarluasan pemakaian bahasa dan sastra Indonesia yang baik untuk berbagai keperluan, dan (5)sarana pengembangan penalaran, serta (6)sarana pemahaman keberanekaragaman budaya Indonesia melalui khasanah kesastraan Indonesia (Depdiknas, 2003: 3). Selanjutnya, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dibedakan atas (1)kemampuan berbahasa, dan (2)kemapuan bersastra. Ruang lingkup kemampuan bersastra meliputi keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis beragam sastra.

Lebih lanjut, dalam standar kompetensi ditetapkan: (1)apresiasi sastra berupa berapresiasi sastra dalam berbagai jenis dan bentuk (a)mendengarkan karya sastra yang disajikan atu dibacakan dan memhami pikiran, perasaan, dan imajinasi yang terkandung di dalamnya, (b)membaca karya sastra tulis, serta (2)ekspresi sastra berupa (a)menulis karya sastra, dan melisankan karya sastra (Depdiknas, 2003:4).

Berdasarkan tujuan, ruang lingkup, dan standar kompetensi tersebut, mau tidak mau seorang guru sastra juga harus memiliki kompetensi menulis karya sastra. Dalam kadar tertentu, seorang guru sastra juga seorang pencipta sastra, atau pembuat sastra. Ia mesti memiliki sedikit (syukur banyak) pengalaman kreatif atau ekspresif sastra. Entah dalam bentuk puisi atau cerpen atau lainnya, ia pernah menulis karya sastra. Bagaimana ia dapat mewujudkan tujuan, ruang lingkup dan standar kompetensi yang digariskan kurikulum, jika guru sastra tidak memiliki pengalaman kreatif atau ekspresif tersebut?

Akan menjadi semakin lengkap jika guru sastra juga menjadi seorang pengamat sastra (Yohanes, 1992:5). Hal itu berarti ia tertarik dan mengikuti perkembangan dunia sastra. Ia tidak melewatkan tulisan ihwal sastra yang ditemukan dalam koran atau majalah yang sedang dibacanya. Syukurlah jika ia memburu tulisan-tulisan sastra bukan sekadar menunggunya, dengan berlangganan Prosa, Kalam, Warta, Basis, dan sejenisnya.

Persoalan menjadi lain, dan problematika pembelajaran sastra menjadi mengemuka ketika kita berhitung berapa banyak guru sastra yang memenuhi kompetensi sebagai penikmat, pembuat, dan pengamat sastra? Dengan hiperbolis Sakdiyah (2004:1) mencatat bahwa di sekolah-sekolah (SD sampai dengan SMU) belum ada guru sastra yang mumpuni, kalaupun ada dapat dihitung dengan jari. Catatan itu menunjukkan bahwa guru sastra dengan kompetensi sebagai penikmat, pembuat, dan pengamat masih sedikit. Lebih-lebih jika hal tersebut dikaitkan pada fakta tidak semua guru bahasa dan sastra berkewenangan secara akademik.

Mengapa demikian? Paling tidak satu di antara sepuluh guru bahasa dan sastra Indonesia tidak berlatar pendidikan bahasa dan sastra. Masih ada sekolah-sekolah yang menyerahkan pengampuan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada guru yang tidak berkewenangan untuk itu karena pelbagai alasan, seperti pemenuhan jam mengajar. Bimsalabim, jadilah guru BP, guru agama, guru olah raga mengajarkan (bahasa) dan sastra. Lebih parah lagi jika ditengok kondisi pembelajaran sastra di sekolah-sekolah yang dikelola (baca: diawasi, dikontrol) oleh departemen selain Depdiknas, seperti di madrasah-madrasah (MI, MTs, MA baik negeri maupun swasta) yang dikelola oleh Departemen Agama. Di lembaga-lembaga pendidikan tersebut terlalu jauh dari angan untuk berbicara tentang guru sastra yang berkompetensi.

3. Profesionalisasi Guru Sastra

Sangatlah ideal dunia pembelajaran sastra jika para gurunya terkategori sebagai tenaga profesional, yaitu memiliki keahlian dan kepakaran di bidang sastra. Dengan kata lain, ia harus menguasai teori sastra, apresiasi sastra, kritik sastra, serta didaktik metodik sastra. Untuk itu, diperlukan pendidikan dan pelatihan dalam jabatan (in-service training) yang disebut sebagai profesionalisasi guru. Hal itu perlu dilakukan untuk meningkatan mutu guru, dan menyegarkannya dengan pengetahuan, keterampilan, dan metode pembelajaran yang inovatif, di samping juga bertujuan agar tidak terjadi kemandegan belajar pada diri seorang guru.

Dalam konteks itu, pernah dilakukan program penyetaraan bagi para guru sejak 1992/1993 untuk guru SD, dan 1997 untuk guru SLTP dan SLTA (Jalal dan Supriadi, 2001:263). Di samping itu, diselengarakan juga penataran untuk kemampuan tertentu. Begitupun pembentukan wadah PKG (Pemantapan Kerja Guru), MGMP/BS (Musyawarah Guru Mata Pelajaran/Bidang Studi), dan sejenisnya. Tentu saja, program-program tersebut melibatkan juga guru (bahasa) dan sastra baik bahasa Indonesia, daerah, maupun asing.

Problematika yang muncul adalah koordinasi antarprogram, dan mutu yang belum teruji, serta dampak terhadap kinerja guru yang belum terpantau. Program yang dinilai menghamburkan uang negara itu, ternyata belum sepenuhnya berhasil. Mengapa demikian? Tidak sedikit guru yang telah mengikuti program penyetaraan atau penataran “balik kucing” ke kinerja semula. Begitu menurut Sakdiyah (2004:4). Jadi upaya profesionalisasi untuk peningkatan kompetensi guru belum berdampak pada performansi, atau program profesionalisasi tersebut dinilai belum sepenuhnya efektif (Jalal dan Supriadi, 2001:264). Ditengarai, hal itu berkaitan dengan motivasi guru, yaitu rendahnya motivasi guru untuk menerapkan pengetahuan ataupun keterampilan yang diperolehnya dari penyetaraan ataupun penataran.

Lagi pula, program-program itu belum menyentuh semua guru sastra. Belum semua guru bahasa dan sastra mendapat kesempatan meningkatkan profesionalitasnya lewat program tersebut. Jangankan yang dikelola oleh Depag, misalnya. Yang dikelola Depdiknaspun belum semuanya tertangani oleh program ini.

Kalaupun ada upaya penerapan oleh para guru, penerapan itu tidak berjalan sesuai dengan seharusnya. Apa yang diterima dari penyetaraan atau penataran diterapkan begitu saja tanpa penyesuaian dengan kondisi sekolah, siswa, dan lain-lainnya. Yang dihasilkan dan diperoleh dari MGMP/BS begitu juga, diterapkan tanpa kreativitas menyesuikan kondisi real yang dihadapi. Pembelajaran sastra jalan di tempat, tidak beranjak dari problematika yang mengungkungnya.

4. Solusi: Sekadar Alternatif

Oleh sebab pembelajaran sastra khususnya, dan pembelajaran bahasa umumnya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan pendidikan secara makro, solusi atas problematika tersebut juga terkait dengan kebijakan pendidikan pada skala makro. Solusi inipun diajukan sebagai alternasi inovasi ke depan, kecuali jika dikehendaki sebagai pembenahan yang sudah atau sedang terjadi.

LPTK -sebagai lembaga yang berwewenang dan bertanggung jawab atas pendidikan prajabatan calon guru sastra- perlu ditata ulang. Dari segi kuantitas, perlu dibatasi jumlah LPTK yang diberi wewenang untuk penyelenggraan pendidikan prajabatan calon guru. Itu perlu dilakukan di samping mengantisipasi membludaknya lulusan yang akhirnya tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia, akan tetapi lebih-lebih dimaksudkan untuk peningkatan kualitas lulusan. Hanya LPTK yang dari segi pengalaman, ketenagaan, serta kelengkapan sarana dan prasarana saja yang diijinkan menyelenggarakan pendidikan prajabatan bagi calon guru. Oleh karena itu, LPTK yang dianggap tidak memenuhi kriteria tersebut harus ditutup atau merger dengan LPTK lain. Khususnya, ketersediaan tenaga edukatif yang memang kompeten dan profesional di bidang sastra, dan pengajarannya harus menjadi pertimbangan utama.

Restrukturisasi LPTK harus merambah juga pada kurikulum. Artinya perlu ada penataulangan isi kurikulum LPTK pada jurusan/program pendidikan bahasa dan sastra, sehingga terjadi perimbangan jumlah sks untuk pengembangan kompetensi profesional guru sastra, pembekalan pengetahuan dan keterampilan sastra, serta keterampilan kependidikan sastra. Untuk itu, misalnya, beberapa matakuliah MKU/MPB perlu dianulasi, dan mata kuliah seperti perancangan kegiatan pembelajaran sastra, pengembangan isi pembelajaran sastra, teknik-teknik pengelolaan kelas, pengenalan beragam pendekatan dan metode pembelajaran sastra perlu ditambahi. Begitupun penambahan sks untuk matakuliah kesastraan seperti apresiasi sastra, sanggar sastra, teori sastra, kritik sastra, ataupun sejarah sastra. Dengan demikian akan tampak perbedaan orientasi dan spesifikasi jurusan/program pendidikan bahasa dan sastra dengan jurusan/program sastra (nonkependidikan). Tidak menutup kemungkinan, sesuai dengan tuntutan kurikulum baru (2004), dikonsentrasikan lagi ke pendidikan bahasa yang menyiapkan guru bahasa, dan pendidikan sastra yang menyiapkan guru sastra.

Selanjutnya, sesuai dengan orientasi dan spesifikasi tersebut, mata kuliah tugas akhir (skripsi atau proyek), juga tetap di bidang sastra dan atau pembelajaran sastra. Tidak mungkinkah mahasiswa memilih tugas akhir berupa peciptaan karya sastra? Pintu untuk itu harus dibuka sebagai bagian dari restrukturisasi LPTK di bidang kurikulum. Dengan demikian tugas akhir dapat berupa penulisan novel, kumpulan cerpen, antologi puisi, ataupun pementasan drama, dan segala bentuk apresiasi ekspresif ataupun reseptif sastra. Hal itu sejalan dengan penggagasan Putu Wijaya (2002:7) bahwa sastra merupakan telaah, skripsi, tesis, bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ditekuninya, karena sastra adalah produk pemikiran pengarangnya.

Terkait dengan orientasi kurikulum tersebut tentu saja penciptaan atmosfir kesastraan di LPTK tidak boleh dilupakan. Ketersediaan buku-buku sastra dalam beragam genre dari beragam periode, ketersediaan ruang pementasan baik teater terbuka ataupun teater tertutup, keberagaman aktivitas sastra yang melembaga (kelompok kreatif, penlok drama/penulisan kreatif), merupakan bagian integral majemen jurusan pendidikan bahasa dan sastra. Tentu saja tidak boleh ketinggalan, di atas semua itu adalah kualitas dan profesionalitas dosen-dosen sastra.

Sementara belum terjadi perbaikan penghargaan pemerintah (masyarakat) terhadap profesi guru sebagaimana tercermin dalam sistem penggajian, pola seleksi calon mahasiswa LPTK perlu juga mengindentifikasi motivasi, potensi/bakat, kepribadian, penampilan calon mahasiswa yang akan dididik menjadi guru (bahasa) dan sastra. Seleksi bukan sekadar mendasarkan pada tes yang menguji kemampuan akademik/intelektual sebagaimana selama ini terjadi dalam UMPTN. Secara demikian diharapkan akan tersaring calon mahasiswa yang benar-benar berminat menjadi guru, dan akan tersingkir mereka yang terpaksa berkuliah di jurusan/program pendidikan bahasa dan sastra karena berbagai sebab.

Sesuai dengan yang digariskan dalam Kurikulum 2004 yang meruanglingkupkan mata pelajaran bahasa dan sastra dalam kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra, tampaknya pemisahan pengampuan isi pembelajaran bahasa dan sastra oleh guru yang berbeda perlu dipertimbangkan urgensinya. Jadi, sebagaimana tatkala Rentjana Pengadjaran 1968 yang memunculkan adanya guru kesusastraan, ke depan perlu dipikirkan dan direalisasikan adanya guru sastra yang tidak terbebani mengajarkan kemampuan berbahasa, dan demikian juga sebaliknya adanya guru bahasa yang tidak terbebani mengajarkan kemampuan bersastra. Dengan catatan hal itu tidak dapat diartikan sebagai eksklusivitas, sehingga terpisah sama sekali dan tidak pernah lagi berintegrasi. Jangankan antara bahasa dan sastra, dengan mata pelajaran lainpun integrasi itu tidak boleh diabaikan. Pada gilirannya, solusi ini akan mengarahkan seorang guru sastra memenuhi kompetensi sebagai penikmat, pembuat, dan pengamat sastra.

sehingga problematika pembelajaran sastra

Agar segala upaya profesionalisasi guru sastra mencapai efektivitas yang diharapkan, beberapa hal perlu dipertimbangkan operasionalisasinya. Program penyetaraan, penataran dan sejenisnya perlu ditindaklanjuti dengan pemantauan aplikasinya. Hasil pemantuan digunakan sebagai penilaian atau pembinaan karir guru. Guru yang didapati mandeg belajar, enggan melakukan pembaharuan walaupun telah mengikuti program profesionalisasi dapat dipensiundinikan. Sebaliknya, guru yang menunjukkan perubahan inovatif, kreatif perlu dipromosikan karirnya. Secara demikian diharapkan akan terjadi kompetisi inovasi antarguru.

Sebagai kajian akademis, bahasan ini memang sengaja menitikberatkan pada kondisi ideal. Oleh kerena itu, guru sastra yang dipersyaratkan sebagai penikmat, pembuat, dan pengamat sastra merupakan awal pengatasan problematika pembelajaran sastra. Di tangan guru yang kompeten tersebut, dapat diletakkan harapan pengatasan keterbatasan sarana dan prasarana, ketidakberminatan siswa, keterbatasan kurikulum dan sebagainya.

Jika kompetensi tersebut dihadapkan pada realitas yang konon terlalu memprihatinkan, solusi pendidikan jabatan dal;am rangka profesionalisasi yang diajukan pada bahasan ini merupakan jawabannya. Artinya, kompetensi guru SD, SLTP, SMA maupun MI, MTs, MA yang masih terlalu rendah dengan kompetensi ideal yang disajikan dalam bahasan ini dapat diatasi dengan pelatihan jabatan, atau bahkan pemensiunan tenaga guru yang tidak memenuhi kualifikasi tersebut.

Selanjutnya, konsep yang diajukan menawarkan pembelajaran sastra yang apresiatif, yaitu pembelajaran yang menekankan pada penikmatan (reseptif), dan penciptaan (ekspresif); dan meninggalkan pembelajaran sastra yang kognitif semata, yaitu menekankan pada pengetahuan dan hafalan. Mengapa? Dalam pembelajaran sastra yang mengajarkan periodisasi sastra, menekankan pengetahuan dan hafalan itulah sesungguhnya beragam keluhan ketidakpuasan pengajaran sastra muncul.

Dalam hubungannya dengan tuntutan ujian nasional yang lebih menekankan pengetahuan dan hafalan, beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, diyakini bahwa pembelajar yang memiliki sikap apresiatif dengan sendirinya akan memiliki pengetahuan kesastraan juga. Oleh karena itu, pembelajaran sastra tidak perlu secara eksklusif menekankan pada pemberian pengetahuan dan hafalan. Sekali lagi, dengan sendirinya hal itu akan dicapai juga. Dengan demikian, tidaklah perlu dicemaskan bahwa siswa tidak mampu menghadapi ujian nasional yang lebih menekankan pengetahuan dan hafalan. Kedua, sistem evaluasi (pembelajaran sastra) perlu diubah, disesuaikan karena sistem evaluasi ini juga masuk dalam lingkaran setan problematika pembelajaran sastra.

Penutupan

Jika dicermati, tampaknya keluhan atas ketidakpuasaan pembelajaran sastra (dan bahasa) senantiasa terjadi dari waktu ke waktu. Walaupun pembaharuan kurikulum sudah dilakukan berkali-kali: Rentjana Pengadjaran Bahasa Indonesia 1962 (disempurnakan 1968), Kurikulum 1975 (direvisi 1979), Kurikulum 1984 (direvisi 1987), Kurikulum 1994 (direvisi 1998), Kurikulum 2004, sampai saat inipun masih juga terdengar keluhan itu, bahkan barangkali lebih nyaring. Jika demikian, akar permasalahannya bukan terletak pada kurikulum semata, melainkan pada banyak aspek lain, satu di antaranya aspek guru. Bahkan dalam hubungannya dengan pelaksanaan kurikulum, guru menjadi ujung tombaknya. Oleh karena itu, mana kala guru sendiri belum stiril dengan problematika, problematika pembelajaran sastra belum juga berakhir.

Jika dicermati lagi, problematika guru sastra yang menyangkut pendidikan prajabatan, kompetensi, dan profesionalisasi tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pendidikan secara makro, bahkan kebijakan nasional lainnya seperti kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, solusi atas problematika pembelajaran sastra (dan bahasa) bergantung juga pada kebijakan pendidikan khususnya, dan kebijakan nasional umumnya. Setidak-tidaknya diperlukan sinergi dari berbagai bidang yang terkait. Pengatasan problematika pembelajaran sastra tidak dapat berlari sendiri.

Daftar Acuan

Beach, Richards W. dan Marshall, james D. 1990. Teaching Literature in the Secondary School. San Diego: harcourt Brace Jovanovich Publisher.

Burhan, Jazir. 1971. Problema Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit Ganavo NV.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.

Gunharjo Ls, C. 2002. “Menggugat Pengajaran Sastra di Perguruan Tinggi”. dalam Cybersastra. http://www.cybersastra.net/.

Jalal, Fasli dan Supriadi, Dedi. (ed.). 2001. Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adi Cita.

Oemarjati, Boen S. 1991a. “Pengajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan Atas: Keakraban Guru-Murid dengan Karya Sastra” dalam Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran. Bambang Kaswanti Purwo (ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Oemarjati, Boen S. 1991b. “Pembinaan Apresiasi Sastra dalam Proses Belajar-Mengajar”Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran. Bambang Kaswanti Purwo (ed.). Yogyakarta: Penerbit Kanisius dalam

Oemarjati, Boen S. 1992. “Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuandalam Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Muljanto Sumardi (ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dal;am Gamitan Pendidikan. Bandung: penerbit CV Diponegoro.

Sakdiyah, Mislinatul. 2004. “Saya, Sosok Guru BI yang Takut Disebut Sebagai Guru Sastra?” dalam Cybersastra. http://www.cybersastra.net/.

Tuloli, Nani. 1992. “Usaha Meningkatkan Proses Belajar-Mengajar Sastra Indonesia” dalam Kongres Bahasa Indonesia IV. A. Murad (ed.). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wijaya, Putu. 2002. “Sastra sebagai Refleksi Kemanusiaan” dalam Forum Bahasa & Sastra.http://www.bahasa-sastra.web.id/.

Yohanes, Budinuryanta. 1988. “Ilmu Sastra Bandingan dan Guru Bahasa dan Sastra Indonesia”Bunga Rampai Bahasa, Sastra, dan Pengajaranya. B. Rahmanto (ed.). Yogyakarta: IKIP Sanata Dharma. dalam

Yohanes, Budinuryanta. 1992. “Mencari Sosok Guru Sastra”. dalam Seminar Sastra. Surabaya: Panitia Safari Sastra JPBSI, FBS IKIP Surabaya.