Senin, 14 Januari 2008

INOVASI PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Pendahuluan

Pendekatan komunikatif (PK) oleh beberapa pengamat dipandang membawa iklim pembaharuan bagi dunia pengajaran bahasa. PK telah mendorong pendulum dari ekstrim tertentu (struktural) ke titik tengah (struktural dan komunikatif), dan mempertegas konsep yang sebelumnya hanya tersirat (fungsi dan nosi) menjadi tersurat (Dardjowidjojo, 1993: 92). Demikian juga, penempatan pokok bahasan pragmatik pada Kurikulum 1984, menghembuskan angin baru dan tantangan baru dalam dunia pengajaran bahasa (Purwo, 1990: 4-5). Harus diakui bahwa PK terintroduksi ke dalam dunia pembelajaran bahasa di Indonesia pada saat pemberlakuan Kurikulum 1984 tanpa didahului pengkondisiaan secara memadai, sehingga diskusi, seminar yang memumpunkan pada PK dan pragmatik semarak pada kurun waktu pemberlakuan tersebut. Oleh karena itu sampai dengan tahun keenam (1990 untuk buku Purwo), dan tahun kedelapan (1992 tulisan Dardjowidjojo) perbincangan ihwal PK tetap dianggap aktual, (bahkan sampai sekarang).

Berbarengan dengan pemberlakuan PK, Kurikulum 1984 sebagai salah satu langkah inovasi pendidikan menggantikan pemberlakuan Kurikulum 1975, menurut Semiawan, menuntut juga penggunaan cara belajar siswa aktif (CBSA) sebagai substitusi cara belajar duduk, dengar, catat, dan hafal (DDCH) yang banyak terjadi sebelumnya (Semiawan, 1990: 6-13). CBSA sebagai padanan student active learning merupakan usaha peningkatan kualitas hasil belajar dengan strategi yang mampu membelajarkan siswa secara aktif (Sudjana, 1989: 3).

Oleh karena itu, penggunaan CBSA tidak dapat dipisahkan dengan pendekatan keterampilan proses (PKP). Semiawan menuliskan bahwa PKP merupakan anutan CBSA, yaitu cara belajar siswa aktif yang mengembangkan keterampilan memproses perolehan (Semiawan, 1990: 16). Mengapa demikian? Dalam CBSA orientasi pembelajaran bukan hanya pada hasil belajar (product oriented), melainkan juga berorientasi pada proses belajar (process oriented), dengan harapan semakin tinggi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran (yang memang sudah dirancang berdasar proses pemerolehan hasil belajar), semakin tinggi pula hasil belajarnya.

Begitupun, CTL (contextual teaching and learning) atau pendekatan kontekstual (PKt), menurut Nur (2004: 1), merupakan gerakan pembaharuan yang merespon keterbatasan pendidikan tradisional. PKt tidak lagi memandang realitas sebagai objek-objek terpisah, tetapi sebagai rajutan atau tenunan objek-objek. Oleh karena itu, PKt menekankan pada (1)penghubungan pengetahuan dan ketarampilan, (2)pembelajaran konsep abstrak dengan aktivitas praktis, dan (3)penghubungan pembelajaran di kelas dengan dunia nyata.

Pembelajaran kuantum (PKu) menurut pendapat De Porter dan Hernacki (2003:14) berakar dari upaya Georgi Lazanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “suggestopedia”. Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap ditail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif. Beberapa teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif. Oleh karena itu, PKu pun disebut sebagai salah satu langkah inovasi pendidikan.

1. Pendekatan Komunikatif

1.1 Landasan Teoretis

PK dalam pengajaran bahasa bertolak pada teori bahasa yang memandang bahasa sebagai komunikasi. Oleh sebab itu, tujuan pengajarannya ialah pengembangan kompetensi komunikatif. Istilah kompetensi komunikatif digunakan Hymes pada mulanya untuk mengontraskannya dengan teori kompetensi Chomsky. Kompetensi menurut Chomsky adalah pengetahuan pembicara-pendengar (yang ideal) mengenai bahasanya sendiri (homogen) (Chomsky, 1965: 4). Yang demikian itu, oleh Hymes dipandang terlalu sempit dan tidak realistis. Mengapa? Pembicara dan pendengan ideal tidak pernah dijumpai dalam masyarakat bahasa, dan masyarakat bahasa tidak pernah homogen karena dalam masyarakat yang ekabahasa (monolingual) didapati juga variasi-variasi bahasa.

Kompetensi komunikatif, menurut Hymes, mencakup pengetahuan maupun kecakapan penggunaan bahasa yang mengarah pada (1)kemungkinan secara formal dalam kaitannya dengan kegramatikalan, (2)kelayakan dalam kaitannya dengan sarana implementasi yang tersedia, (3)kesesuaian dalam kaitannya dengan konteks, dan (4)keaktualan dan kebenaran dalam kaitannya dengan realitas dan logika (Hymes, 1970: 21-23; Yohanes, 1991: 51; Dardjowidjojo, 1993: 80). Jadi, pembelajar dikatakan memiliki kompetensi komunikatif jika ia telah beroleh pengetahuan dan kecakapan gramatikal dan pragmatikal (strategik, kontekstual, dan material). Belajar bahasa dengan demikian bukan sekadar belajar gramatika, melainkan belajar penggunaannya, konteksnya, dan isi atau informasinya.

Hal itu sejalan dengan teori kompetensi komunikatif yang dikemukakan Canale dan Swain (1980). Mereka mengidentifikasi empat dimensi komunikatif: (1)kompetensi gramatikal, (2)kimpetensi sosiolinguistik, (3)kompetensi kewacanaan, dan (4)kompetensi strategik (Yohanes, 1991: 52). Kompetensi gramatikal mengacu pada teori komptensi Chomsky dsan kemungkinan formal Hymes, yaitu mengarah pada ranah kemampuan gramatikal dan leksikal. Kompetensi Sosiolinguistik mengacu pada pemahaman konteks sosial tempat terjadinya komunikasi, termasuk hubungan pelibat, pembagian informasi, dan tujuan komunikasi. Kompetensi wacana mengacu pada penafsiran unsur-unsur pesan pribadi, yang menyangkut antarhubungan dan cara penyataan makna dalam keseluruhan teks. Kompetensi strategik mengacu pada penguasaan strategi yang diguankan komunikator untuk memprakarsai, mengakhiri, memelihara, memperbaiki, dan mengarahkan kembali komunikasi.

Teori bahasa lain yang mendasari PK ialah teori penggunaan bahasa secara fungsional dari Halliday. Ia membedakan tujuh fungsi utama bahasa dalam kaitannya dengan anak yang membelajarai B1. Ketujuh fungsi itu adalah; (1)fungsi instrumental: menggunakan bahasa untuk mendapatkan sesuatu, (2)fungsi regulatori: menggunakan bahasa untuk mengawasi atau mengatur perilaku orang lain, (3)fungsi interaksional: menggunakan bahasa untuk menciptakan interaksi dengan orang lain, (4)fungsi personal: menggunakan bahasa untuk mengekspresikan rasaan, mauan pribadi, (5)fungsi heuristik: menggunakan bahasa untuk menemukan sesuatu, (6)fungsi imajinatif: menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia imajinasi atau mengkhayalkan sesuatu, dan (7)fungsi representasional: menggunakan bahasa untuk mengomunikasikan informasi atau mengahadirulangkan informasi (Richards dan Rodgers, 1986: 70-71).

Teori pembelajaran bahasa yang mendasari PK dapat dirumuskan dalam tiga prinsip: (1)prinsip komunikasi, (2)prinsip tugas, dan (3)prinsip kebermaknaan (Richards dan Rodgers, 1986: 71-72). Prinsip komunikasi mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan pembelajaran yang melibatkan komunikasi nyata akan meningkatkan hasil pembelajaran. Tugas-tugas yang bermanfaat bagi penggunaan bahasa juga akan turut meningkatkan pembelajaran, sedangkan bahasa yang bermakna bagi pembelajar turut menunjang proses pembelajaran (Yohanes, 1992: 2).

Ada beberapa ahli lain yang menaruh perhatian pada hubungan teori pembelajaran dengan PK. Savignon (1983) menyigi pemerolehan B2 sebagai sumber teori pembelajaran dan mempertimbangkan peranan kebahasaaan, sosial, kognitif, dan variabel individual dalam pemerolehan bahasa. Johnson (1984) dan Littlewood (1984) mempertimbangkan suatu alternatif teori pembelajaran dan melihat kesesuaian antara PK dengan model pembelajaran yang berdasarkan keterampilan. Menurut Littlewood, pemerolehan kompetensi komuikatif dalam suatu bahasa merupakan contoh perkembangan keterampilan, baik yang menyangkut aspek kognitif maupun aspek behavioral. Dengan demikian, penekanan pada pelatihan penggunaan bahasa merupakan cara pengembangan keterampilan-keterampilan komunikatif dalam pembelajaran bahasa (Littlewood, 1984: 74).

Menurut Piepho (1983) sebagaimana dikutip Richards dan Rodgers (1986: 73) ada lima tingkatan tujuan dalam PK. Pertama adalah tingkat yang berpersoalan dengan hakikat bahasa sebagai sarana komunikasi. Kedua dalah tingkat yang berkaitan dengan bahasa sebagai sistem semiotik dan pembelajaran bahasa. Ketiga adalah tingkat yang berhubungan dengan afeksi yaitu bahasa sebagai sarana pengekspresian nilai dan pertimbangan diri. Keempat adalah tingkat kebutuhan-kebutuhan pembelajar secara individual yang berkaitan dengan pembelajaran remidial berdasarkan analisis kesalahan. Kelima adalah tingkat ekstrakebahasaan yang berkenaan dengan pembelajaran bahasa di dalam konteks pendidikan secara umum atau kurikulum sekolah.

1.2 Silabus

Salah satu model silabus yang diusulkan dalam PK diperikan sebagai silabus nosional yang memumpunkan pada kategori semantik-gramatikal dan kategori fungsi komunikatif sebagaimana diajukan oleh Wilkins (Wilkins, 1972:18). Kategori pertama merupakan kategori semantik yang secara signifikan berinteraksi dengan kategori gramatikal. Termasuk dalam kategori ini adalah waktu, kuantitas, ruang, hal, kasus, dan deiksis. Kategori kedua terdiri atas modalitas, evaluasi moral, bujukan, argumen, eksposisi dan pemikiran rasional, emisi pribadi, dan hubungan interpersonal (Dardjowidjojo, 1993: 83).

Council of Europe (COE) memperluas dan mengembangkannya dengan memasukkannya dalam silabus tersebut (1)deskripsi tujuan pengajaran bahasa, (2)situasi tempat bahasa itu digunakan, (3)topik, (4)fungsi, (5)makna, (6)kosa kata dan tatabahasa (Yohanes, 1991: 56). Oleh Yalden komponen silabus komunikatif itu dikembangkan lagi menjadi sepuluh komponen: (1)tujuan, (2)latar, (3)peranan pembelajar, (4)peristiwa komunikasi, (5)fungsi bahasa, (6)makna, (7)wacana dan keterampilan retorik, (8)variasi bahasa, (9)gramatika, dan (10)leksikal (Yalden, 1987: 86-87).

Di samping ketiga alternatif silabus tersebut –Wilkins, COE, Yalden- ada juga model silabus lain, seperti spiral fungsional di sekitar inti struktural dari Brumfit (1980), rajutan fungsi, struktur, kecakapan, dan tema dari Maley(1980), konteks total dari Valdman (1980) (Purwo, 1990: 64-67). Dalam silabus Brumfit, gramatika struktural ditahapkan dalam kerangka komunikatif (fungsi dan nosi). Itu berarti silabus disusun berintikan tatabahasa dalam rentetan tahapan yang dikaitkan dengan jabaran nosional, fungsional, dan situasional yang digambarkan sebagai spiral yang melilit pada inti.

Maley menggambarkan silabusnya sebagai sebuah untaian terdiri atas struktur, fungsi, kecakapan (aptitude), dan tema. Untaian itu saling menjalin ataui lilit-melilit menuju ke satu arah. Suatu rajutan tertentu dapat mengandung salah satu dari untaian itu sebagai fokus utamanya, tetapi keterkaitan dengan untaian lain dapat dibuat dari lajur manapun.

Silabus model Valdman memperluas bukan sekadar paduan konteks linguistis dan konteks ekstralinguistis yang merupakan konteks eksplisit, melainkan melibatkan juga konteks implisit (lingkungan sosial, stuasional, dan fisikal). Selanjutnya, keseluruhan konteks eksplisit dan implisit itu terpadu dalam konteks total.

1.3 Kegiatan Pembelajaran

Macam kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan PK tidak terbatas. Yang penting setiap kegiatan tersebut menyediakan kemungkinan bagi pembelajar untuk mencapai tujuan komunikatif dalam kurikulu, mengikutsertakan pembelajar dalam komunikasi, menawarkan pengunaan setiap proses komunikatif, pengenalan makna dan interaksi (Yohanes, 1991: 57). Littelwood (1981:1) mengintroduksikan empat macam kegiatan yang berpayung dalam dua kegiatan komunikasi. Pertama adalah kegiatan prakomunikatif yang meliputi kegiatan struktural dan kegiatan komunikatif semu (quasi-communicative). Kedua adalah kegiatan komunikatif yang meliputi kegiatan komunikasi fungsional, dan kegiatan interaksi sosial.

Kegiatan komunikasi fungsional meliputi tugas-tugas seperti pembandingan sederetan gambar dengan mencatat persamaan dan perbedaannya, pengurutan peristiwa dalam deretan gambar, penemuan butir-butir mata rantai yang hilang dalam peta atau gambar, atau pengomunikasian di belakang layar oleh salah seorang pembelajar sementara pembelajar lain menggambar sesuatu atas dasar instruksi, penyempurnaan peta disertai petunjuk, dan pemecahan masalah berdasarkan petunjuk yang diberikan. Kegiatan interaksi sosial meliputi percakapan, pertemuan diskusi, dialog, bermain peran, simulasi, dramatisasi lakon pendek, improvisasi, dan debat, misalnya (Yohanes, 1991: 58)

1.4 Peranan Pembelajar, Pengajar, dan Bahan Ajar

Peranan pembelajar dalam PK merupakan negosiator antara diri pribadi, proses pembelajaran, dan objek belajar. Implikasi bagi pembelajar ialah bahwa ia harus memberi sumbangan sebanyak yang diperolehnya, dan dengan cara demikian ia belajar dalam saling bergantung satu sama lain. Di samping itu, pembelajar harus mengembangkan strategi untuk menghubungkan struktur linguistis dengan fungsi komuniukatif mereka dalam situasi nyata dan waktu yang sebenarnya.

Pengajar atau guru berperan sebagai pemberi kemudahan proses komunikasi antara semua yang terlibat , dan sekaligus sebagai seorang yang terlibat dalam proses belajar mengajar. Peranan yang terakhir berimplikasi pada seperangkat peranan sekunder seperti sebagai pengorganisasi sumber belajar dan juga sebagai sumber belajar itu sendiri, sebagai pembimbing dalam lkangkah kegiatan pembelajaran, dan sebagai peneliti (Yohanes, 1991: 59).

Richards dan Rodgers (1986: 78-79) melukiskan peranan pengajar dalam PK sebagai pengenalisis kebutuhan, penyuluh, dan pengelola proses kelompok. Sebagai penganalisis kebutuhan, pengajar berusahan mengetahui kebutuhan-kebutuhan yang mendasari pembelajar belajar bahasa yang bersangkutan. Sesuai dengan peran sebagai penyuluh, pengajarpun senantiasa berusaha ikut mendengarkan kesulitan yang dialami pembelajar dan membantu mencari pengatasannya. Pengajar berperan juga sebagai pengelola berbagai komponen dan kegiatan dalam proses belajar mengajar yang dilaksanakan.

Bahan ajar dalam PK berperan sebagai pemengaruh kualitas interaksi kelas dan kualitas penggunaan secara komunikatif. Untuk mencapai itu, ada tiga cara pengembangan bahan ajar: pengembangan bahan ajar berdasarkan teks, pengembangan bahan ajar berdasarkan tugas, dan pengembangan bahan ajar yang otentik faktual. Pengembangan berdasarkan teks dapat disusun berdasarkan tema, analisis tugas tematik, pemerian situasi praktik, presentasi stimulus, pertanyaan pemahaman, dan pelatihan parafrase. Beragam permainan, bermain peran, simulasi, dramatisasi adalah pengembangan bahan ajar berdasar tugas. Wujudnya dapat berupa kartu-katu perintah, kartu kegiatan, atau buku pegangan pelatihan. Di samping itu bahan ajar dapat dikembangkan berdasarkan situasi nyata dari kehidupan sebenarnya. Ini dapat berupa majalah, koran, iklan, grafik, peta, gambar dan lain-lain yang digunakan untuk pelatihan berkomunikasi.

2. Pendekatan CBSA

2.1 Esensi CBSA

CBSA merupakan konsekuensi logis hakikat belajar sebagai proses aktif mereaksi semua situasi yang ada di sekitar individu, dan hakikat mengajar sebagai pembimbingan kegiatan siswa belajar dengan mengatur dan mengorganisasikan lingkungan di sekitar siswa sehingga menstimuli siswa aktif belajar (Sudjana, 1989: 20). Secara konseptual, CBSA merupakan proses kegiatan belajar mengajar yang subjek didiknya terlibat secra intektual dan emisional sehingga ia betul-betul berpartisipasi aktif dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Hal itu berarti menempatkan siswa sebagai pusat kegiatan belajar mengajar.

Dari segi pembelajar, dengan demikian CBSA merupakan proses kegiatan yang dilakukan pembelajar dalam rangka belajar, sedangkan dari segi pengajar merupakan strategi yang menciptakan optimalisasi aktivitas pembelajaran dalam kegiatan pengajaran, sehingga pembelajar mampu mengubah tingkah lakunya secara efektif dan efisien.

2.2 Prinsip Pengembangan

Menurut Semiawan (1990: 9-13), ada delapan prinsip yang mendasari pengembangan pendekatan CBSA. Kedelapan prinsip itu adalah (1)prinsip motivasi, (2)prinsip latar dan konteks, (3)prinsip keterfokusan, (4)prinsip sosialisasi, (5)prinsip belajar sambil bekerja, (6)prinsip individualisasi, (7)prinsip penemuan, dan (8)prinsip pemecahan masalah. Motivasi adalah daya dalam pribadi yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi dapat datang dari dalam (intrinsik), dan dapat juga dari luar (ekstrinsik). CBSA menekankan motivasi intrinsik pembelajar dengan melibatkan mereka secara aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga tumbuh kegairahan, keingintahuan, dan keinginan untuk mencoba, melakukannya sendiri, sementara itu motivasi ekstrinsik tetap dilakukan dengan memberikan ganjaran, pujian, ataupun hukuman.

Kegiatan pembelajaran tidak pernah terjadi dalam kekosongan. Pembelajar yang mempelajari sesuatu yang baru sekalipun, dengan demikian sesungguhnya telah mengetahui atau menguasai hal-hal lain yang berkait langsung atrau tak langsung dengan yang baru tersebut. Dalam CBSA, pembelajaran perilaku yang baru didasarkan pada perilaku lama yang dikuasainya, sehingga pembelajar akan lebih mudah menangkap dan menguasai perilaku yang baru tersebut. Itulah yang disebut prinsip latar dan konteks dalam CBSA.

Pembelajaran terfokus mampu mengaitkan sesuatu yang terpisah menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa fokus, yang dipelajari akan tetap terumbai-umbai, terpecah-pecah, dan dengan demikian pembelajar sulit memahaminya. CBSA dikembangkan dengan prinsip ini, bahwa fokus akan membatasi keluasan dan mengarahkan pada prioritas perilaku tertentu dalam hubungannya dengan perilaku-perilaku lain.

Prinsip sosialisasi mengatakan bahwa pembelajaran akan berhasil baik jika dilakukan bersama-sama dalam kerja kelompok daripada dikerjakan sendirian oleh setiap individu. Di samping itu, pelatihan bekerja sama dalam proses pembelajaran sangatlah penting dalam proses pembentukan kepribadian anak. Oleh karena itu, dalam pembelajaranpun pembelajar perlu dilatih bekerja sama dengan rekan-rekan. CBSA memungkinkan untuk menumbuhkembangkan hal tersebut. Itulah prinsip sosialisasi.

Yang dilakukan pembelajar lewat kegiatan bekerja, mencari, menemukan sendiri tidak mudah dilupakan oleh pembelajar. Hal itu akan tertanam pada diri pembelajar secara relatif lebih lama. Lagi pula, pada prinsipnya pembelajar pada hakikatnya belajar sambil melakukan aktivitas tertentu, melakukan pekerjaan tertentu. Oleh karena itu, CBSA yang berprinsip pada belajar sambil bekerja mengutamakan kegiatan pembelajarannya dalam kemasan melakukannya langsung.

Hal yang tidak dapat dilupakan adalah setiap individu, demikian juga pembelajar, memiliki perbedaan. Pembelajaran tidak boleh memperlakukan siswa seolah-olah mereka itu sama. Latar belakang keluarga, sifat, kebiasaan, gaya belajar, kegemaran, bakat mereka berbeda-beda. Jika perbedaan-perbedaan itu diperhitungkan (diidentifikasi dan difungsikan) dalam pembelajaran, maka di samping akan mengantar anak pada pengembangan kepribadiannya, juga dapat menguntungkan bagi terbentuknya kegiatan pembelajaran yang variatif dan kolaboratif. Dengan demikian pembelajaran akan lebih menyenangkan. Itulah prinsip individualisasi dalam CBSA.

Jika kepada para pembelajar diberikan peluang untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang dipelajarinya, maka ia mengalami sendiri secara kognitif, afektif, ataupun psikomotorik atas hal yang baru tersebut. Pengalaman ini akan menjadfikan pembelajaran tidak lagi membosankan tetapi menggairahkan. Oleh karena itu, CBSA menggunakan prinsip ini, yaitu memberikan peluang kepada pembel;ajar untuk mencari dan menemukan sendiri informasi, perilaku yang dipelajarinya.

Cara belajar yang menghadapkan siswa pada situasi bermasalah dengan tujuan pembelajar peka terhadap masalah, sehingga pada gilirannya juga tumbuh kepekaan dalam pemecahan masalah akan mengantar pembelajar dalam situasi kehidupan yang sebenarnya. Oleh karena itu, pembelajaran hendaknya mendorong para pembelajar untuk menemukan masalah, merumuskannya, dan berlatih memecahkannya sesuai dengan taraf kemampuannya. CBSA menganut prinsip ini juga.

2.3 Indikator CBSA

Untuk mendeteksi keterlaksanaan CBSA dalam proses belajar mengajar, Sudjana (1989: 21-22) mengajukan beberapa indikator dari matra siswa, guru, program, situasi belajar, dan sarana belajar. Dari matra siswa sebagai pembelajar CBSA terlaksana manakala siswa mengaktualisasi keinginan, minat, dan kebutuhannya. Di samping itu mereka juga berkeinginan dan berkeberanian berpartisipasi dalam kegiatan persiapan, proses, dan kelanjutan belajar. Semua itu dilakukan dengan dasar kemandirian belajar, kebebasan dan kaleluasaan melakakun tanpa tekanan pihak lain.

Dari matra guru, tampak adanya usaha guru untuk mendorong, menumbuhkan gairah belajar dan partisipasi siswa secara aktif. Selain itu, peranan guru tidak mendominasi proses belajar siswa. Oleh karena itu, guru harus memberi kesempatan kepada pembelajar untuk belajar menurut cara dan keadaannya masing-masing. Akan sangat menolong, jika guru juga menggunakan berbagai jenis metode mengajar serta multimedia secara efektif dan efisien.

Dilihat dari matra program, hemndaknya program tersebut bertujuan, berkonsep, dan berisi materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat, serta kemampuan pembelajar. Di samping program harus jelas dan dapat dimengerti pembelajar, juga haruus menantang siswa melakukan kegiatan belajar. Bahan pembelajaran mengandung fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan.

Situasi belajar menampakkan hubungan intim antara guru dan siswa, siswa dengan siswa. Hubungan itu mencerminkan relasi manusiawi bapak-anak, dan teman sebaya. Dengan demikian situasi tersebut tercermin juga dalam kegairahan dan kegembiraan belajar, sehingga setiap individu betah, rindu pada situasi yang dialaminya.

Ketersediaan sumber-sumber belajar bagi siswa, keluwesan waktu dalam kegiatan pembelajaran merupakan indikator keterlaksanaan CBSA dari matra sarana belajar. Tentu saja, penggunaan beragam media pembelajaran, dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang tridak terbatas dalam kelas merupakan bagian dari indikator ini juga.

2.4 Peran Guru dalam CBSA

Bagaimanakah peran guru dalam CBSA? Guru berperan sebagai (1)pemimpin belajar, (2)fasilitator belajar, (3)moderator belajar, (4)motivator belajar, dan (5)evaluator (Sudjana, 1989: 31-36). Sebagai pemimpin belajar atau manajer belajar, guru bertugas merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengontrol kegiatan siswa belajar. Kepemimpinan yang demokratis merupakan ciri utama dalam CBSA. Peranan ini menuntu guru memiliki kesanggupan mengelola kelas, melakukan hubungan sosial dengan siswa, dan memahami individu siswa.

Guru dalam CBSA bertugas memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Kemudahan itu dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, misalnya menyediakan sumber belajar dan alat-alat belajar. Di samping itu, gurupun dapat berperan sebagai penengah perbedaan pendapat yang muncul pada siswa. Guru sebagai moderator tidak hanya mengatur arus kegiatan belajar, tetapi bersama siswa menarik simpulan atas masalah sebagai hasil belajar.

Sebagai motivator, guru berperan mendorong siswa agar mau melakukan kegitan belajar dengan penciptaan kondisi kelas yang merangsang siswa melakukan kegiatan baik individual maupun klasikal. Terlebih lagi peran ini dituntut tatkala ada siswa yang melemah keterlibatannya dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai evaluator, guru mengawasi, memantau kegiatan pembelajaran dan hasil belajar setiap individu yang terlibat secara objektif dan komprehensif. Ia juga dituntut melakukan perbaikan proses pembelajaran atas kelemahan yang ditemukan pada proses pembelajaran sebelumnya.

3. Pendekatan Keterampilan Proses

3.1 Esensi PKP

Apakah PKP itu? Untuk menjawab itu, Semiawan mengilustrasikan para ilmuwan terkenal, seperti Galileo, Archimedes, Newton, James Watt tatkala mereka masing-masing memukan teori rotasi bumi, hukum Archimedes, gaya berat, dan mesin uap. Ilmuwan tersebut menurut Semiawan sesungguhnya menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan atau keterampilan fisik dan mental dalam cara kerjanya (Semiawan, 1990: 16-17). Keterampilan tersebut meliputi (1)mengobservasi, (2)merumuskan hipotesis, (3)merencanakan penelitian/percobaan, (4)mengendalikan variabel, (5)menginterpretasi data, (6)menyusun inferensi, (7)meramalkan atau prediksi, (8)menerapkan atau aplikasi, dan (9)mengomunikasikan. Pendekatan pembelajaran yang mengembangkan keterampilan memproses perolehan sebagaimana kerja ilmiah para ilmuwan itulah yang disebut sebagai PKP.

3.2 Alasan Pengembangan PKP

Adapun alasan penerapan PKP dalam pembelajaran dapat dikemukakan sebagai berikut. Pertama, perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung secara cepat sehingga mustahil guru dapat mengajarkan itu semua kepada para siswa. Oleh karena itu, kepada siswa tidak lagi diberikan pengetahuan jadi, tetapi justru dilatihkan proses pemerolehan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, PKP tidak mengajarkan tentang apa itu x, tetapi mengajarkan bagaimana mengetahui atau memperoleh pengetahuan x.

Kedua, secara psikologis diyakini bahwa anak-anak lebih memahami konsep yang rumit dan abstrak jika disertai contoh konkret dan wajar sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi. Perkembangan kognitif anak sesungguhnya didasarkan pada gerakan dan perbuatan. Pembelajaran dengan demikian tidak menyediakan pengetahuan siap cerna, tetapi menyiapkan situasi yang menggiring pembelajar beratnya, mengamati, bereksperimen, serta menemukan fakta dan konsep sendiri. Oleh sebab itu, pembelajaran yang menekankan proses pemerolehan (baca: PKP) perlu dikembangkan.

Ketiga, penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak dan final. Penemuan itu bersifat relatif. Teori tertentu sebagai hasil penemuan sebelumnya tidak mustahil terbantah da tertolak oleh penemuan berikutnya berdasarkan fakta baru yang membuktikan kekeliruan teori lama. Semua yang ditemukan lewat kerja ilmiah masih tetap terbuka untuk dipertanyakan, dipersoalkan, dan direvisi. Kepada pembelajar perlu dilatih untuk selalu bertanya, berpikir kritis, bereksperimen terhadap kemungkinan jawaban lain. PKP melatihkan itu semua kepada para pembelajar.

Keempat, dalam pembelajaran seyogyanya pengembangan konsep tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai dalam diri pembelajar. Konsep dan nilai serta sikap harus disatukan, sehingga pembelajar berkembang secara utuh sebagai manusia. Kegiatan pembelajaran yang tidak sekadar menjejalkan atau mengembangkan intelektualitas, tetapi juga mengembangkan humanitas secara utuh terpadu menjadi pilihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. PKP dirancang untuk memenuhi hal tersebut.

3.3 Ragam Keterampilan Proses

Seperti telah disinggung di muka, keterampilan proses yang perlu dikembangkan pada diri siswa tersebut adalah keterampilan observasi, formulasi hipotesis, eksperimentasi, pengendalian variabel, interpretasi data, inferensi, aplikasi, dan komunikasi. Berikut akan dipaparkan esensi keterampilan-keterampilan tersebut.

Kerja ilmiah sesungguhnya bermula dari proses pengamatan atau observasi. Proses tersebut akan mendasari proses-proses berikutnya. Artinya, kesalahan dalam pengamatan dapat mengekibatkan kesalahan perumusan hipotesis, dan dengan demikian berakibat juga pada kesalahan proses selanjutnya. Oleh karena itu, keterampilan observasi dikatakan sebagai keterampilan ilmiah yang mendasar. Keterampilan ini berkaitan dengan penggunaan idra secara intensif, bukan sekadar melihat melainkan mencermati, bukan sekadar mendengar tetapi mendengarkan, dan seterusnya. Oleh sebab itu, kegiatan observasi mencakup juga kegiatan penghitungan, pengukuran, pengklasifikasian, dan penentuan hubungan (ruang dan waktu) (Semiawan, 1990: 19-24).

Hipotesis adalah dugaan yang beralasan untuk menerangkan fakta atau kejadian berdasarkan amatan tertentu. Kerja ilmiah melibatkan proses penyusunan hipotesis ini untuk kemudian diuji melalui eksperimen. Formulasi hipotesis merupakan kunci pembuka tabir penemuan hal baru. Keterampilan merumuskan hipotesis dengan merentang hubungan fakta atau data hasil amatan juga merupakan keterampilan yang perlu dikuasai oleh ilmuwan. Dalam PKP, keterampilan ini juga perlu dilatihkan kepada siswa.

Eksperimentasi adalah usaha menguji atau mengetes kebenaran dugaan atau hipotesis melalui penyelidikan praktis. Yang sering dilakukan secara naluriah adalah coba dan ralat (trial and error). Dengan kegiatan tersebut, ketidakberhasilan pada percobaan sebelumnya menjadi pelajaran (dasar perbaikan) bagi percobaan berikutnya. Begitulah seterusnya sampai berhasil menemukan jawaban atas masalah yang dirumuskannya.

Keterampilan lain dalam kerja ilmiah adalah pengendalian variabel atau peubah. Variabel adalah faktor yang mampu mengubah suatu suatu kondisi tertentu, jika faktor itu diubah atau dimanipulasi. Untuk itu, perlu diidentifikasi dalam kondisi tersebut manakah variabel terkendali, dan manakah variabel tergantung. Keterampilan mengidentifikasi variabel, dan mengendalikan variabel merupakan keterampilan yang menentukan dalam keberhasilan proses penemuan. Kepada para pembelajar, keterampilan inipun perlu dilatihkan, dan PKP menjamin pelatihannya.

Data yang diperoleh lewat observasi, eksperimen dapat dicatat atau disajikan dalam beragam bentuk, seperti tabel, grafik, histogram, atau diagram. Akan tetapi, manakala sajian dalam tabel, grafik dan sebagainya itu tidak disertai intrepretasi, maka data itu tidak berbicara apa-apa atas pokok masalahnya. Oleh karena itu, data tersebut perlu ditindaklanjuti oleh interpretasi atau penafsiran. Proses penafsiran dapat dilakukan dengan menghubung-hubungkan data satu dengan data lain, atau dapat juga dengan membanding-bandingkan antara data satu dengan data lain baik pada pumpunan persamaan maupun perbedaannya. Lewat proses pengorelasian dan pengomparasian tersebut intrepresi atas data dapat diberikan. Keterampilan-keterampilan tersebut perlu dilatihkan juga pada pembelajar.

Berdasarkan interpretasi, dibuatlah inferensi. Inferensi adalah simpulan sementara atas data-data yang terkumpulkan pada observasi, setelah melalui proses eksperimentasi maupun interpretasi. Inferensi dilakukan dengan penarikan hubungan antara interpretasi satu dengan interpretasi lain, atau antara data satu dengan data lain, atau antara interpretasi dengan data. Proses ini akan sangat berarti bagi penyusunan simpulan akhir, dan setelah diuji lagi lewat prediksi.

Dengan mendasarkan pada kecenderungan tertentu (yang terumus pada proses sebelumnya), dilakukan peramalan atau prediksi atas fakta atau kejadian yang akan datang. Semakin akurat prediksi semakin benar inferensi sementara, dan demikian semakin potensial menjadi inferensi akhir yang sahih. Keterampilan ini pada hakikatnya melibatkan kecakapan penggunaan temuan untuk memperkirakan kejadian atau fakta sejenis. Oleh karena itu di dalamnya terkandung juga kecakapan menemukan persamaan gejala yang satu dengan yang lain lewat proses komparasi.

Hal yang juga perlu dikuasai dalam proses penemuan adalah keterampilan aplikasi, yaitu keterampilan menerapkan konsep yang telah ditemukan dalam konteks yang berbeda. Dengan proses ini, akhirnya konsep yang ditemukan di samping memperoleh signifikansinya, juga akan bertahan relatif lama karena benar terinternalisasi pada dirinya. Keterampilan aplikasi merupakan indikator penguasaan konsep yang lebih tinggi daripada sekadar prediksi atau peramalan.

Keterampilan lain yang diperlukan adalah komunikasi, yaitu keterampilan menyampaikan hasil temuaannya kepada pihak lain dalam berbagai bentuk, seperti laporan penelitian, makalah, atau karangan lainnya, dan dapat juga penyampaian secara lisan. Dalam PKP, keterampilan ini pun perlu dilatihkan dengan cara memajangkan temuannya dalam gambar, model, diagram yang disertai paparannya.

4. Pendekatan Kontekstual (CTL)

4.1 Esensi CTL

CTL atau PKt menurut pendapat Nurhadi (2003:1) adalah sebuah konsep pembelajaran yang membantu para guru untuk menghubungkan materi pelajaran yang diajarkan kepada para pelajar kepada situasi dunia nyata pelajar dan memotivasi pelajar untuk menghubungkan pengalaman mereka dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka yang nyata sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat. Dengan konsep itu, diharapkan bahwa prestasi pembelajaran akan lebih berarti bagi para pelajar. Proses pembelajaran berjalan dengan alami dalam bentuk kegiatan pelajar, belajar sambil melakukannya, dan bukan alih pengetahuan dari guru ke murid. Adapun strategi pembelajaran lebih penting dari prestasi belajar.

Di dalam konteks, pembelajar sebaiknya mengerti apa yang dimaksud dengan pembelajaran dan manfaat pembelajaran itu sendiri, dan apa yang seharusnya mereka kerjakan dan bagaimana mereka seharusnya mencapai tujuan pebelajaran mereka (Nurhadi, 2002:1-2) Selain itu, para pembelajar harus menyadari bahwa pembelajaran mereka akan berguna untuk kehidupan mereka dimasa yang akan mendatang. Maka dari itu, mereka anggap bermanfaat untuk diri mereka sendiri dan berupaya untuk mencapainya. Hal inilah yang membuat mereka memerlukan guru sebagai pembimbing dan penyuluh mereka.

Dalam pengajaran dan pembelajaran kontekstual, tugas para guru menurut pandangan Nurhadi (2002:2) adalah membantu para pelajar untuk mencapai tujuan mereka. Maksudnya para guru lebih banyak berhubungan dengan strategi daripada sekedar memberikan penjelasan. Tugas para guru adalah mengawasi ruang kelas sebagai sebuah tim dan kemudian bekerja bersama-sama untuk menemukan sesuatu yang baru untuk anggota kelas itu sendiri atau para murid itu sendiri. Sesuatu yang baru yang ditemukan disini adalah ‘pengetahuan’ dan ‘keterampilan’ yang mereka temukan sendiri, dan penemuan mereka bukan dari “apa yang dikatakan oleh para guru.” Itulah peranan guru dalam kelas PKt.

Kontekstual, berdasarkan pada pendapat Nurhadi (2002:2) hanyalah sebuah strategi pembelajaran. Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (CTL) dikembangkan dengan tujuan bahwa pembelajaran dapat berjalan dengan lebih berhasil guna dan lebih berarti. Pendekatan kontekstual dapat diterapkan tanpa mengubah kurikulum.

Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (CTL) menurut pendapat Suyanto, dkk (2003:8) adalah sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang berhubungan dengan bahan-bahan ajar dan kegiatan-kegiatan kelas dengan situasi nyata para pelajar dan pengalaman nyata para pelajar yang terpumpun pada proses pembelajaran menuju kepada kreativitas, berfikir kritis, pemecahan masalah dan mampu menerapkan pengetahuan mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adapun pengetahuan dan ketrampilan siswa menurut pandangan Nurhadi (2002:26) diperoleh melalui upaya siswa sendiri untuk membentuk pengetahuannya sendiri ketika mereka belajar. Sedangkan pembelajaran berdasarkan kontekstual tersebut terdiri dari tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yaitu : contructivism, questioning, inquiry, learning community, modelling, authentic assessment dan reflection.

Selain itu, CTL juga didefinisikan oleh team CTL UM (2002:9) sebagai sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang membantu para guru untuk menghubungkan bahan pengajarannya dan kegiatan mengajarnya kepada pengalaman yang nyata, maka dari itu para siswa menghubungkan pengetahuan dan pengalaman mereka dengan kehidupan mereka sehari-hari di tengah-tengah masyarakat mereka. Dasar filosofis CTL menurut pendapat Nurhadi (2002:26) adalah ‘constructivism’, yaitu filsafat pembelajaran yang menekankan pada filsafat pembelajaran yang menekankan pada filsafat pembelajaran yang menekankan pembelajaran tidak hanya pada menghafal. Para siswa seyogyanya membentuk pengetahuan mereka dalam benak mereka. Pengetahuan tidak boleh dipisahkan ke dalam fakta-fakta atau proposisi-proposisi yang terpisah, tetapi ia seharusnya merefleksikan, keterampilan-keterampilan yang dapat diterapkan.

4.2 Ciri-ciri Pembelajaran Berdasarkan CTL

Sebuah ruang kelas disebut telah menerapkan pendekatan CTL jika ruang kelas tersebut menurut pendapat Nurhadi (2002:26-7) telah menerapkan 7 komponen CTL. Tujuh komponen CTL tersebut menurut pandangan Suyanto, dkk (2003:9) adalah constructivism, questioning, inquiry, learning community, modelling, authentic assessment dan reflection. Nurhadi (2002:26-7) menekankan lebih lanjut bahwa tanda-tanda tujuh komponen CTL telah diterapkan jika filsafat pembelajarannya adalah constructivism, atau akan ada unsur questioning, pengetahuan dan pengalaman akan diperoleh melalui kegiatan penemuan, dan akan dibentuk sebuah masyarakat pembelajaran atau kelompok belajar atau learning community, selain itu ada seorang model untuk ditiru (modelling), serta dilaksanakan sebuah penilaian yang sungguh-sungguh atau authentic assessment.

Selain itu, salah satu ciri-ciri fisik kelas CTL berdasarkan pada pandangan Nurhadi (2002:29) adalah bahwa pada dinding-dinding ruang kelas penuh dengan kertas kerja siswa, baik dalam bentuk puisi maupun beberapa artikel ilmiah yang diciptakan oleh siswa itu sendiri. Disamping itu Nurhadi (2002) menambahkan pendapatnya ruang kelas CTL itu selalu ramai dan ceria, dimana para siswa merasa bahagia untuk belajar bersama-sama. Ruang kelasnya aktif, yang menunjukkan bahwa para siswa aktif dalam belajar mereka.

4.3 Alasan CTL Dipilih sebagai Sebuah Strategi untuk Pengajaran dan Pembelajaran

Strategi pengajaran dan pembelajaran sudah lama dimiliki, namun Nurhadi (2002:27) menganggap bahwa strategi tersebut tidak produktif. Kegiatan kelas sehari-hari hanyalah mengajar dengan cara menjelaskan. Adapun para siswa hanya dipaksa untuk menerima penjelasan guru, kemudian mereka harus menghafalkannya. Maka dari itu, perlu sekali untuk memilih strategi pembelajaran yang lebih terpumpun pada pembelajaran siswa aktif. Sebenarnya, pendekatan CTL itu menurut pendapat Nurhadi (2002) adalah berdasarkan pada filsafat pembelajaran John Dewey (1916) yang menekankan pada pengembangan minat dan pengalaman siswa. CTL hanyalah sebuah strategi pembelajaran yang cocok dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Di samping itu, diharapkan para siswa akan ‘berpengalaman’, dan mereka tidak hanya sekedar ‘menghafal’ pelajaran, jika strategi CTL diterapkan (Nurhadi, 2002:2). Hal ini sesuai dengan pernyataan Zahorik (1995) dalam Nurhadi (2002:2-3) sebagai berikut :

“…pengetahuan itu dibentuk oleh manusia. Pengetahuan itu bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau undang-undang yang menanti untuk ditemukan. Ia bukanlah sesuatu yang ada tidak tergantung kepada orang yang mengetahuinya. Manusia menciptakan atau membangun pengetahuan karena mereka berupaya untuk membawa arti kepada pengetahuan mereka. Segala sesuatu yang kita ketahui, kitalah yang membuatnya.”[1]

4.4 Perbedaan Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual dengan Pengajaran dan Pembelajaran Tradisional.

Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual (CTL)

Pengajaran dan Pembelajaran Tradisional

Para siswa terlibat dengan aktif.

Para siswa sebagai penerima pasif.

Para siswa belajar dari satu siswa ke siswa yang lain, melalui kerja sama, kerja kelompok, dan refleksi diri.

Para siswa bekerja secara terpisah. Tidak ada pasangan untuk saling bertukar fikiran atau diskusi.

Para siswa memandang pembelajaran sebagai sesuatu yang relevan.

Para siswa menganggap isi pembelajaran dan pengajaran sebagai sesuatu yang tidak relevan.

Pembelajaran selalu dihubungkan dengan ‘dunia nyata’ atau beberapa isu yang disimulasikan dan masalah-masalah yang mengandung arti (bermakna).

Pembelajaran selalu abstrak dan teoritis.

Para siswa terlibat langsung dalam tanggung jawab memonitor perkembangan pembelajaran mereka sendiri.

Guru adalah penentu tunggal dalam pembelajaran siswa.

Apresiasi terhadap kontek kehidupan siswa yang beraneka ragam dan pengalaman terdahulu siswa adalah dasar dari pembelajaran.

Pengalaman dan latar belakang siswa tidak dipertimbangkan.

Para siswa didorong untuk menjadi pemeran aktif dalam kemajuan masyarakat.

Para siswa tidak didorong untuk ikut terlibat dalam kemajuan masyarakat.

Pembelajaran para siswa diuji dengan beberapa macam cara.

Pembelajaran siswa diuji dengan sebuah format baku tunggal.

Pendapat dan perspektif siswa dimulai dan dihargai.

Perspektif siswa tidak dihargai dan tidak dinilai.

Guru bertindak sebagai seorang fasilitator pembelajaran siswa.

Guru mengawasi dan mendikte sebagai aspek lingkungan pengajaran.

Guru menerapkan beberapa tehnik pengajaran yang tepat dan bervariasi.

Guru menerapkan tehnik pengajaran yang terbatas.

Lingkungan pembelajarannya dinamis lagi menakjubkan.

Lingkungan pembelajarannya statis dan tampak sebuah kegiatan yang rutin.

Pemikiran yang lebih mendalam dan pemecahan masalah ditekankan.

Terlalu bergantung kepada peran hafalan dalam pendekatan pengajaran dan pembelajaran.

Dianjurkan agar para siswa dan guru disiapkan untuk mengadakan penelitian dengan kreatifitas pendekatan yang baru.

Terjadinya sedikit resiko dan percobaan adalah merupakan pendekatan, pengajaran dan pembelajaran.

Proses pembelajaran adalah sama pentingnya dengan isi materi pembelajaran yang sedang dipelajari.

Assimilasi isi dianggap sangat penting.

Pembalajaran terjadi pada setting dan konteks ganda.

Pembelajaran terjadi hanya pada satu setting saja (misalnya, ruang kelas)

Pengetahuan adalah sesuatu yang interdisipliner dan berkembang di atas batas-batas ruang kelas yang konvensional

Disiplin ilmu diajarkan secara terpisah.

Guru menerima perannya sebagai seorang pembelajar.

Guru dipandang sebagai sumber utama pengetahuan.

Belajar dengan kontek ganda membuat siswa mampu mengidentifikasi dan memecahkan masalah dalam konteknya yang berlaku.

Siswa memiliki kesempatan yang terbatas untuk memindahkan pengertiannya terhadap kontek situasi yang baru.

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang menghubungkan bahan ajar dan kegiatan kelas dengan situasi nyata dan pengalaman aktual siswa yang terpumpun pada proses pembelajaran yang mengacu kepada kreativitas, berfikir kritis, pemecahan masalah dan mampu menerapkan pengetahuan mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari. Adapun ciri-ciri pembelajaran berdasarkan CTL adalah pembelajaran kelas yang menerapkan tujuh komponen CTL, yaitu ‘contructivism’, ‘questioning’, ‘inquiry’, ‘learning community’, ‘modelling’, ‘authentic assessment’ dan ‘reflection’. CTL dipilih sebagai sebuah strategi untuk pengajaran dan pembelajaran karena dengan menerapkan CTL, para siswa diharapkan dapat mengembangkan keterampilan dan pengalaman sendiri dan tidak hanya menunggu perintah guru, kemudian menghafalkannya.

Akhirnya, dijumpai bahwa ternyata CTL itu jauh berbeda dari pengajaran dan pembelajaran tradisional di dalam beberapa hal. Di antara perbedaan tersebut adalah bahwa di dalam CTL para siswa aktif terlibat, tetapi dalam TTL para siswa hanya sebagai penerima yang pasif. Selain itu di dalam CTL para siswa bekerja dalam sebuah team kerja, tetapi dalam TTL tidak ada kerja sama atau kerja bertim atau kerja kelompok.

5. Pembelajaran Kuantum

5.1 Esensi Pembelajaran Kuantum

Pembelajaran Kuantum menurut pendapat De Porter dan Hernacki (2003:14-6) mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian antara siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan positif, faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang dan menciptakan “pegangan” dari saat-saat keberhasilan yang meyakinkan.

Untuk mengetahui lebih dalam bagaimana pembelajaran Kuantum itu, maka diperlukan pembahasan dari rumusan masalah berikut ini, bagaimana lingkungan dan suasana dalam pembelajaran quantum itu? Metode apakah yang digunakan dalam pembelajaran Kuantum? Apa perbedaan CTL dan QL?

5.2 Lingkungan dan Suasana dalam Pembelajaran Kuantum

Dalam pembelajaran quantum diperlukan lingkungan belajar yang tepat. Dalam menciptakan lingkungan belajar yang tepat menurut pendapat De Porter dan Hernacki (2003:65) perlu diciptakan suasana yang nyaman dan santai. Supaya terasa santai, terjaga dan siap untuk berkonsentrasi digunakan musik jenis musik yang digunakan adalah jenis musik yang sesuai dengan suasana hati. Selain itu diperlukan pengingat-pengingat visual untuk mempertahankan sikap positif. Untuk menjadi palajar yang lebih baik diperlukan interaksi dengan lingkungan.

Selanjutnya, untuk menciptakan lingkungan yang optimal, baik secara fisik maupun mental, menurut pendapat De Porter dan Hernacki (2003:67) diperlukan jenis perabotan tertentu dan penataan, pencahayaan, musik, visual poster, gambar, papan pengumuman, penempatan persediaan, temperatur, tanaman, kenyamanan, dan suasana secara umum. Jika lingkungan ditata dengan baik, dapat menjadi sarana yang bernilai dalam membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif inilah yang merupakan aset yang berharga untuk belajar.

5.3 Metode yang Digunakan dan Pembelajaran Kuantum

Untuk melaksanakan pembelajaran Kuantum dan sekaligus mencapai tujuannya diperlukan beberapa metode. Adapun metode pembelajaran Kuantum menurut pendapat De Porter dan Hernacki (2003:15) adalah metode mencontoh, permainan, simulasi dan simbol.

5.4 Perbedaan CTL dan QL

CTL

QL

CTL adalah sebuah konsep pengajaran dan pembelajaran yang membantu para guru untuk menghubungkan materi pelajaran yang diajarkan kepada pelajar kepada situasi dunia nyata para pelajar dan memotivasi para pelajar untuk menghubungkan pengalaman mereka dengan menerapkannya dalam kehidupan mereka yang nyata sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat.

QL adalah seperangkat metode dan falsafah belajar yang terbukti efektif untuk semua umur.

Ciri – ciri CTL terdiri dari 7 komponen utama pembelajaran produktif : constructivisme, questioning, inquiry, learning community, modelling, authentic assessment dan reflection.

Ciri – ciri QL adalah :

1. Lingkungan :

Ð Positif, aman, mendukung, santai, penjelajahan, menggembirakan.

2. Fisik :

Ð Gerakan, terobosan, perobahan keadaan, permainan-permainan, fisiologi, estafet, partisipasi.

3. Suasana

Ð Nyaman

Ð Cukup penerangan

Ð Enak dipandang

Ð Ada musiknya

4. Sumber – sumber

5.5 Interaktif

Ð Pengetahuan, pengalaman.

Ð Hubungan, inspirasi.

5.6 Metode

Ð Mencontoh.

Ð Permainan.

Ð Simulasi.

Ð Simbol.

6. Tujuan Pembelajaran.

Untuk memperoleh nilai dan keyakinan dengan cara belajar untuk mempelajari ketrampilan :

Ð Menghafal

Ð Membaca

Ð Menulis

Ð Mencatat

Ð Kreativitas

Ð Cara belajar

Ð Komunikasi

Ð Hubungan

Quantum Learning berbeda dengan CTL dalam beberapa hal, yaitu dalam asal-usul dan ciri-cirinya. Quantum learning asal-usulnya dari seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai “suggestology” atau “suggestopedia”, adapun CTL berangkat dari teori constructivismenya John Dewey, bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh siswa sendiri melalui pengalaman yang dimiliki sebelumnya atau melalui dunia nyata mereka sendiri. Sehingga ciri-cirinya CTL adalah constructivisme, questioning, inquiry, learning community, modelling, authentic assessment dan reflection. Quantum learning adalah seperangkat metode dan filsafat belajar, sedangkan CTL adalah sebuah pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang berhubungan dengan bahan-bahan ajar dan kegiatan kelas dengan situasi nyata para pelajar dan pengalaman nyata para pelajar yang terpumpun pada proses pembelajaran menuju kepada kualifitas, berfikir kritis, pemecahan masalah dan mampu menerapkan pengetahuan mereka dalam dunia nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Penutupan

Berdasarkan uraian tersebut tampaklah bahwa PK, CBSA, PKP, CTL atau PKt, dan Pembelajaran Kuantum atau Pku sama-sama mereaksi praktik pembelajaran tradisional. PK mereaksi pembelajaran bahasa yang gramatikal sentris dan menawarkan pembelajaran bahasa yang pragmatikal sentris. CBSA mereaksi pengajaran yang DDCH yang menempatkan siswa sebagai objek, dan menawarkan pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran. PKP mereaksi pengajaran yang berorientasi pada hasil (product oriented), dan menawarkan pembelajaran yang berorientasi pada proses (process oriented). PKt atau CTL mereaksi pengajaran yang memisahkan objek pembelajaran, dan menawarkan pembelajaran yang memadukan objek pembelajaran sebagai satu tenunan atau kontektual. Pembelajaran Kuantum (PKu) mereaksi pengajaran dalam latar gersang membosankan, dan menawarkan pembelajaran dalam latar segar menyenangkan.

Dalam konteks pembelajaran bahasa, PK lebih menekanka pada perubahan landasan filosofis pembelajaran bahasa yang menyangkut baik teori linguistis, psikolinguistis, maupun sosiolinguistis. CBSA lebih memumpunkan pada perubahan interaksi edukatif, PKP pada perubahan strategi pembelajaran, CTL atau PKt pada perubahan ancangan materi pembelajaran, dan PKu lebih menekankan pada perubahan latar atau setting pembelajaran. Jika kelima-limanya dapat secara simultan, dan konsisten diterapkan dalam pembelajaran bahasa, niscaya tidak akan lagi terdengar keluhan kegagalan pengajaran bahasa. Persoalan klasik adalah implementasi selalu saja tidak sejalan dengan konsepsinya. Praktik tidak sejalan dengan teori. Mengapa demikian?

Daftar Acuan

Anugerahwati, Mirjan, 2002. Instructional Media, Games, Songs and Stories. Malang : Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.

Chomsky, Noam. 1965. Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge: The MIT Press.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1993. “Kontroversi dalam Pendekatan Komunikatif” dalam Purwo (p). Pellba 6. Jakarta: Lembaga Bahsa Unika Atma Jaya.

Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Pendekatan Kontekstual, Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki, 2002. Quantum Teaching : Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang Kelas. Bandung : PT. Mizan Pustaka.

De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki, 2003. Quantum Learning : Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung : PT. Mizan Pustaka.

Hymes, Del H. 1970. “On Communicative Competence” dalam Brumfit and Johnson (p). The Communicative Aprroach to Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.

Littlewood, William. 1981. Communicative Language Teaching: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.

Mukminatun, Nur, 2002. Learning Community, dalam Pembelajaran Bahasa Inggris. Malang : Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.

Nur, Muhamad. 2004. “Contextual Teaching and Learning dan Asesmen Autentik”. Surabaya: Madrasah Aliayah Negeri.

Nurhadi, 2002. Pendekatan Kontekstual, Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Richards, Jack C. 1985. The Context of Language Teaching. Cambrigde: Cambridge University Press.

Semiawan, Cony, dkk. 1990. Pendekatan Ketrampilan Proses: Bagaimana Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

Subyakto-Nababan, Sri Utari. 1993. Metodologi pengajaran Bahasa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Sudjana, Nana. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Penerbit Sinar Baru

Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suyanto, Kasihani, K.E, 2003. Pelaksanaan KBK Berpendidikan CTL & Life Skills. Jakarta : Departemen Pedidikan Nasional.

Umaidi, 2002. Pengantar CTL. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendekatan Lanjutan.

Wilkins, D.A. 1976. Notional Syllabuses. London: Oxford University Press.

Yalden, Janice. 1987. The Communicative Syllabus: Evolution, Design anad Implementation. London: Printice-Hall International.

Yohanes, Budinuryanta. 1991. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Indonesia di SMA. Bandung: Fakultas Pascasarjana IKIP Bandung.

Yohanes, Budinuryanta. 1992. “Alternatif Penyiasatan Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa Indonesia”. Surabaya: Seminar Pengajaran Bahasa Indonesia, FBS IKIP Surabaya.


[1] “…knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of facts, concepts or laws waiting to be discovered. It is not something that exist independent of a knower. Humans create or construct knowledge as they attempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made.” (Conceptual Framework, University of Georgia, College of Education, dalam Nurhadi (2002:7-9)