Istilah grading tasks (Nunan, 1989: 96) dalam tulisan ini dipadankan dengan gradation of course content (van Els, 1984: 224) atau gradasi isi pembelajaran. Dengan rumusan tersebut, pumpunan kajian tulisan ini adalah the arrangement of the content of language course or a textbook so that it is presented in a helpful way (Richards dan Platt, 1997: 160), yaitu penataan isi pembelajaran bahasa atau isi buku ajar bahasa sehingga tersaji secara berdaya guna. Istilah yang berdekatan dengan gradasi atau penatatingkatan adalah penataurutan (sequencing), dan penyeleksian (selecting). Perbedaannya, jika penataurutan lebih terpumpun pada urutan sekuensial (sequential order) maka penatatingkatan terpumpun pada tingkatan sekuensial (strongly sequential). Oleh karena itu, yang satu akan menghasilkan tatanan urutan, sedangkan yang lain menghasilkan tatanan tingkatan. Penyeleksian memumpunkan pada pilihan material yang menghasilan tampian materi. Secara prosedural penyeleksian mendahului penatatingkatan ataupun penataurutan isi pembelajaran.
1. Faktor Gradasi
Seperti halnya seleksi isi pembelajaran yang didasarkan pada faktor tujuan, tingkat, dan waktu pembelajaran, demikianpun gradasi isi pembelajaran (van Els, 1984:226). Berbeda dengan van Els, Nunan mengajukan faktor gradasi isi pembelajaran atas faktor masukan (input factors), pembelajar (learners factors), dan aktivitas (activity factors) (Nunan, 1989: 97).
Tujuan pembelajaran merupakan faktor yang bukan saja perlu dipertimbangkan dalam gradasi isi pembelajaran (Hamied, 1987:147), melainkan faktor yang wajib diperhitungkan dalam gradasi isi pembelajaran. Hal itu berarti bahwa gradasi isi pembelajaran harus dilakukan berdasarkan tujuan pembelajaran. Bagaimanapun, penatatingkatan isi pembelajaran diabdikan bagi tercapainya tujuan pembelajaran. Pembelajaran bahasa dengan tujuan khusus oral (misal: wicara, atau menyimak), akan berbeda penatatingkatan isi pembelajarannya dengan pembelajaran bahasa dengan tujuan khusus literal (misal: membaca, atau menulis), ataupun pembelajaran dengan tujuan khusus reseptif (misal: menyimak, membaca) akan berbeda penatatingkatan isi pembelejarannya dengan tujuan khusus produktif (misal: wicara, menulis). Walaupun dimungkinkan bahwa di antara tujuan pembelajaran khusus tersebut, terjadi kesamaan tata tingkat pada beberapa isi pembelajaran.
Demikianpun, tingkat kecakapan perlu dipertimbangkan dalam gradasi isi pembelajaran. Pembelajaran pada tingkat pemula memerlukan penatatingkatan isi pembelajaran yang berlainan dengan pembelajaran pada tingkat lanjut. Dengan kata lain, pengembangan bahan ajar bahasa harus mengetahui atau memastikan lebih dahulu untuk tingkat manakah bahan ajar itu disusun. Gradasi isi pembelajaran bahasa untuk jenjang sekolah dasar semestinya tidak sama dengan yang diperuntukkan pada jenjang sekolah lanjutan, dan atau sekolah menengah. Gradasi isi pembelajaran bahasa tingkat dasar (elementary) tentu berbeda dengan tingkat lanjut (advanced ).
Alokasi waktu dan persebaran waktu dalam keseluruhan kurikulum juga ikut menentukan gradasi isi pembelajaran. Pertama alokasi waktu akan berpengaruh langsung pada seleksi isi pembelajaran, khususnya segi kuatitas. Pembelajaran bahasa yang dirancang untuk waktu tiga tahun dengan alokasi waktu tiga jam per minggu pasti memungkinkan pemuatan isi pembelajaran yang lebih banyak daripada yang dirancang untuk waktu dua tahun dengan alokasi waktu dua jam per minggu. Tentu saja, jumlah isi pembelajaran ini akhirnya berpengaruh pada gradasinya.
Menurut Nunan (1989:97-101), gradasi isi pembelajaran harus mempertimbangkan faktor masukan, yaitu yang berkaitan dengan teks sebagai isi pembelajarannya. Tentang hal ini, ada beberepa segi yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan bahan ajar bahasa. Pertama adalah kompleksitas teks. Teks yang memuat kalimat-kalimat sederhana secara umum akan lebih mudah daripada teks yang memuat kalimat-kalimat rumit. Kalimat-kalimat tunggal, misalnya, lebih mudah daripada kalimat-kalimat majemuk.. Demikianpun, teks yang mengeksplisitkan hubungan antarteks relatif lebih mudah dan daripada yang mengimplisitkan hubungan antarteks. Tuturan (1) terkategori sederhana karena mengeksplisitkan hubungan antarbagiannya dengan penggunaan konjungsi ‘karena’, sedangkan tuturan (2) karena hubungan antarteks tidak eksplisit, terkategori rumit.
(1) Murid-murid membuang-buang waktu karena guru meninggalkan ruang kelas.
(2) Guru meninggalkan ruang kelas. Murid-murid membuang-buang waktu.
Tentu saja, paragraf yang secara jelas mengungkapkan gagasan pokoknya dalam kalimat utama termasuk kategori sederhana, sedangkan paragraf yang menyembunyikan gagasan pokoknya atau tidak menyatakan gagasan pokoknya dalam kalimat utama terkategori teks rumit. Dari sini ini dapat dipahami mengapa tulisan berita, misalnya, lebih mudah dibandingkan dengan tulisan sastra karena yang satu lebih mengeksplisitkan gagasan utama, yang lain kurang –untuk tidak mengatakan tidak- mengeksplisitkan gagasan utama. Teks yang bersesirah dan bersubsesirah, serta dilengkapi gambar, foto, tabel, grafik menurut Nunan (1989: 98-99) lebih mudah dipahami daripada teks yang tak berserirah, tanpa gambar, tanpa foto, dan sebagainya.
Kedua, kompleksitas teks sebagai isi pembelajaraan dapat juga disebabkan oleh jenis teks. Teks deskripsi berbeda tingkat kesulitannya dengan teks argumentasi, narasi, ataupun eksposisi. Teks yang menyajikan opini atau pendapat dan sikap seperti halnya argumentasi lebih sulit dibandingkan teks yang sekadar menyajikan fakta dan data seperti halnya deskripsi dan eksposisi. Narasi yang menyajikan fakta dengan bumbu fiksi dengan demikian juga lebih sulit daripada eksposisi dan deskripsi. Belum lagi jika dipertimbangkan dari segi lisan (oral), dan tulis (literal), ataupun asli, dan saduran.
Pertimbangan penatatingkatan isi pembelajaran harus juga didasarkan pada faktor pembelajar (Nunan, 1989: 101-103). Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan dasar (background knowlegde) atau skemata yang dimiliki pembelajar. Dapat dipahami bahwa penatatingkatan isi pembelajaran yang berdasarkan skemata yang dimiliki siswa menuju ke yang belum dimiliki siswa akan memudahkan pemahaman daripada sebaliknya. Setidak-tidaknya dapat diharapkan bahwa kesulitan pemahaman isi pembelajaran yang didasarkan pada skemata pembelajar lebih kecil dibandingkan yang tidak didasarkan pada skemata pembelajar.
Brindley dalam Nunan (1989:102-103) mengemukakan selain pengetahuan dasar atau skemata yang dimiliki pembelajar, faktor pembelajar mencakup juga kepercayaan diri (confidence), motivasi (motivation), pengalaman pembelajaran sebelumnya (prior learning experience), kepesatan pembelajaran (learning pace), kecakapan terpelajari (observed ability in language skills), kesadaran kultural (cultural knowledge/awarenes), dan pengetahuan kebahasaan (linguistic knowledge).
Faktor lain dalam gradasi isi pembelajaran bahasa adalah aktivitas pembelajaran. Menurut Nunan (1989: 104), akhir-akhir ini telah terjadi kecenderungan untuk mengontrol kesulitan (isi pembelajaran) bukan dengan penyederhanaan masukan, malainkan dengan pemvariasian kesulitan aktivitas pembelajaran. Contoh yang diajukan Nunan diambil dari Jones dan Moar Listen to Australia (1985) yang didasarkan pada cuplikan siaran radio. Pada level 1 (mudah) aktivitas berupa penyimakan pita rekaman yang menugasi siswa mencentang pada kotak di bawah gambar sesuai yang didengarnya tentang cuaca: cerah, berawan, atau hujan. Level 2 (agak sulit) aktivitas sama dengan level 1 tetapi tentang jawaban tanyaan atas kegiatan akhir pekan. Pada level 3 (lebih sulit) aktivitas berawal dengan penulisan kegiatan akhir pekan di bawah gambar yang tersedia, berlanjut dengan penyimakan pita rekaman.
Kompleksitas kegiatan pembelajar oleh Brindley ditengarai berdasarkan faktor relevansi, kekompleksan, jumlah konteks yang tersedia sebelumnya, keterprosesan bahasa, jumlah bantuan yang tersedia bagi pembelajar, tingkat ketepatan gramatikal/kesesuaian konstekstual, dan ketersediaan waktu. Apakah isi pembelajaran itu bermakna dan bergayut bagi pembelajar; berapa langkah kegitan yang terkandung di dalamnya; berapa banyak pengetahuan dunia yang mendasarinya; berapa lama waktu yang dimiliki pembelajar untuk menyelesaikan isi pembelajaran? Itu semua baru sebagian pertanyaan yang jawabannya akan menentukan kompleksitas aktivitas pembelajar (Nunan, 1989:109)
Candlin dan Nunan menyarankan bahwa aktivitas pembelajaran dapat ditatatingkatkan dengan mengacu pada kecenderungan kognitif secara umum. Dengan mengadaptasi pandangan Bruner, aktivitas tersebut terdiri atas (1)pemusatan perhatian dan pengenalan (attending and recognizing), (2)pemahaman (making sense), (3)penguasaan informasi yang tersaji (going beyond the information given), dan (4)pentransferan dan perampatan (transferring and generalising) (Nunan, 1989:110).
2. Jenis Gradasi
Pengembang bahan ajar bahasa akan berhadapan dengan pilihan gradasi yang pada dasarnya antara dua jenis gradasi, yaitu (1)gradasi lurus (linear gradation), dan (2)gradasi putar (cyclic gradation). Gradasi lurus sering juga disebut sebagai gradasi suksesif (successive gradation) dan gradasi putar disebut juga sebagai gradasi spiral (spiral gradation) atau gradasi konsentris (concentric gradation) (van Els, 1984:226). Di samping itu, berdasarkan kategori kebahasaan gradari isi pembelajaran dapat juga dibedakan atas (1)gradasi gramatis (grammatical gradation), (2)gradasi situasional (situational gradation), dan (3)gradasi fungsional-nosional (functional-notional gradation) (van Els, 1984: 229).
Gradasi lurus merupakan jenis penatatingkatan isi pembelajaran yang paling awal digunakan sebelum dikenal adanya gradasi putar. Gradasi ini menatatingkatkan isi pembelajaran secara lurus satu demi satu. Artinya setiap pokok pembelajaran disajikan secara detail dengan tujuan pencapaian secara tuntas atas pokok pembelajaran tersebut. Sebelum pokok pembelajaran itu dikuasai secara tuntas oleh pembelajar, pembelajaran tidak akan berlanjut ke pokok pembelajaran berikutnya. Pada gradasi lurus (penuh), penyajian secara intensif mendalam dan detail terinci perlu dilakukan karena gradasi ini menolak adanya pengulangan. Jadi setiap bagian isi pembelajaran hanya tersaji satu kali. Andaikata ada bagian yang belum terkuasai, maka pengulangan dilakukan secara sekilas dalam konteks yang sama persis.
Gradasi lurus, dengan demikian, memiliki sejumlah kelemahan. Pada tingkat permulaan kemajuan belajar akan sangat lambat karena setiap pokok pembelajaran disajikan secara mendasar. Hal itu mengakibatkan pembelajaran memerlukan waktu yang relatif banyak. Kedua hal itu dapat menimbulkan pengaruh negatif pada motivasi pembelajar, bahkan dapat terjadi kepercayaan diri pembelajar juga rendah, atau menimbulkan keraguan atas relevansi yang dipelajarinya bagi dirinya. Dalam paduan dengan gradasi gramatis, misalnya, gradasi lurus ini akan berlama-lama pada pembelajaran gramatika tertentu, dan tidak kunjung tiba pada pembelajaran komunikatifnya. Akibatnya pembelajar jenuh, bosan, dan tidak jarang patah arang.
Berbeda dengan gradasi lurus, gradasi putar menatatingkatkan isi pembelajaran dengan pengarahan pada pemahaman bertahap dengan kembali ke isi pembelajaran itu pada interval yang berbeda dalam alur pembelajaran tersebut. Dalam gradasi putar isi pembelajaran tidak disajikan dan dibahas secara mendalam seperti halnya dalam gradasi lurus, tetapi hanya aspek-aspek penting yang disajikannya. Tanpa harus menunggu penguasaan tuntas atas isi pembelajaran yang tersajikan, proses pembelajaran dapat berlanjut pada penyajian isi pembelajaran berikutnya. Pada pembelajaran yang baru itu, isi pembelajaran yang lama diulang, dan diintegrasikan.
Penatatingkatan yang demikian menurut Corder sesuai dengan hakikat struktur bahasa yang kait-mengait tak terpisahkan antara unsur yang satu dengan yang lain. Di samping itu, gradasi putar mirip dengan proses alamiah pembelajaran bahasa yang tidak berjalan secara linear tetapi secara spiral (Hamied, 1987:163). Oleh karena itu, pengembangan bahan ajar dianjurkan menggunakan gradasi putar ini.
Keunggulan gradasi putar, di samping kesesuaiannya dengan hakihat bahasa dan proses alamiah pembelajaran bahasa, adalah kemajuan pada tahap awal akan relatif cepat. Tentu saja, hal itu akan mengakibatkan pengehematan waktu, dan peningkatan motivasi pembelajar (setidak-tidaknya pengonstanan motivasi pembelajar). Keunggulan lain, gradasi ini memungkinkan pengulangan atas isi pembelajaran dalam konteks yang berbeda, di samping memeiliki keleluasaan dalam pembedaan isi pembelajaran bahasa reseptif dan produktif.
Secara tradisional, pada umumnya diasumsikan bahwa proses pembelajaran bahasa dapat dikembangkan dengan baik melalui penatatingkatan isi pembelajaran yang berdasarkan karakteristik struktural. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa penguasaan yang cukup tentang sistem kaidah morfo-sintaktik bahasa merupakan prasyarat untuk komunikasi yang efektif. Itulah dasar penatatingkatan isi pembelajaran dalam gradasi gramatis.
Dalam gradasi gramatis, dengan demikian, isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan pemumpunan pada satu atau beberapa struktur morfologi atau sintaktik. Artinya, isi pembelajaran disajikan kepada pembelajar berdasarkan aspek gramatikal tertentu (misal: imbuhan ber-), kaidah morfo-sintaktik disajikan lebih dahulu, barulah kemudian diikuti oleh kaidah komunikatifnya.
Keberatan penggunaan gradasi ini adalah karena penekanan pada penguasaan sistem kaidah morfo-sintaktik, gradasi ini melupakan bahwa penguasaanbentuk-bentuk kebahasaan hanyalah sebagai alat. Tujuan pembelajaran bahasa untuk berkomunikasi akhirnya diabaikan. Padahal untuk komunikasi verbal diperlukan lebih dari sekadar penguasaan kaidah morfosintaktik. Keberatan lain adalah kaidah-kaidah gramatis yang disajikan miskin unsur leksikal. Akibatnya pembelajar menguasai sistem kaidah bahasa yang dipelajari, tetapi tidak mempunyai cukup kosa kata yang diperlukan dalam situasi komunikasi yang dihadapinya.
Keberatan-keberatan tersebut dapat diperingan dalam gradasi gramatis jika pengembang bahan ajar masukkan juga kaidah penggunaan bahasa. Dengan demikian pembelajaran bahasa bukan hanya terpumpun pada pengembangan kompetensi linguistik, melainkan juga terpumpun pada pengembangan kompetensi komunikatif. Selain itu, setiap penyajian fokus struktur tertentu diikuti dengan pelatihan yang berkonteks komunikatif yang realistis. Kemiskinan kosa kata dalam gradasi ini, dapat diatasi jika sejak pemilihan isi pembelajaran pengembang bahan ajar bahasa telah memasukkan juga kosa kata yang tertampi sesuai dengan struktur dan penggunaan struktur yang dirancangnya.
Pembelajar yang belajar dalam pembelajaran yang isi pembelajarannya ditatatingkatkan secara gramatis tidak mampu menerapkan kaidah yang dipelajarinya dalam situasi komunikasi yang sesungguhnya. Itulah yang mendorong munculnya gradasi situasional. Situasi tempat siswa dapat menggunakan bahasa merupakan pertimbangan penting dalam gradasi situasional. Situasi komunikasi adalah lingkungan fisik tempat bahasa itu digunakan. Oleh karena itu, dalam gradasi situasional isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan lingkungan tersebut, misal: “di sekolah”, “di wartel”, “di kantor pos”, dan sebagainya. Penatatingkatannya bergerak dari lingkungan fisik yang diakrabi ke lingkungan fisik yang kurang diakrabi tetapi di kemudian hari bakal dimasukinya.
Asumsi gradasi situasional adalah lingkungan fisik penggunaan bahasa menentukan isi pembelajaran bahasa yang akan diajarkan. Sebagaimana telah dipahami bahwa tuturan ditentukan oleh sejumlah faktor yang melatarinya, salah satunya adalah lingkungan fisik. Faktor lain adalah peranan sosial dan pskologis para pelibat pertuturan, di samping faktor tujuan yang hendak dicapai oleh penggunaan tuturan tersebut. Oleh karena itu, isi pembelajaran ditatatingkatkan berdasarkan faktor tempat, pelibat, tujuan, dan saat atau waktu pertuturan. Semua itulah yang disebut sebagai konteks pertuturan.
Keunggulan gradasi ini jelas bahwa isi pembelajaran bahasa sesuai dengan konteks penggunaan bahasa tersebut, sehingga pembelajar akan langsung dapat menerapkan atau menggunakan kecakapan yang dipelajari sesuai situasi yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena yang dipelajari berguna dalam kehidupannya. Pada gilirannya, yang demikian itu akan dapat meningkatkan motivasi pembelajar. Kelemahan gradasi situasional terletak pada penekanan yang berlebihan antara isi pembelajaran dengan lingkungan fisik tempat bahasa digunakan. Hal itu akan mengakibatkan pemaksaan isi pembelajaran yang secara kebahasaan belum tentu sesuai dengan situasi, atau sebaliknya. Akhirnya, pembelajaran yang seharusnya natural tercipta oleh gradasi situasional ini, menjadi artifisial juga.
Dalam perkembangan berikutnya muncul gradasi nosional-fungsional. Gradasi ini menatatingkatkan isi pembelajaran dengan memadukan tiga kategori nosional-fungsional yang terdiri atas (1)kategori semantico-grammatikal, yaitu kategori yang berkaitan dengan persepsi kita atas kejadian, proses, keadaan, dan abstraksi, (2)kategori modal meaning, yaitu kategori yang berkaitan dengan cara penutur bahasa mengekspresikan sikpnya terhadap yang dikatakannya atau yang dituliskannya, serta (3)kategori communicative function, yaitu kategori yang digunakan untuk menunjukkan yang dilakukan melalui bahasa sebagai lawan yang dilaporkan melalui bahasa (van Els, 1984:232).
Oleh karena itu, dalam gradasi ini isi pembelajaran bahasa tetap mencakup kaidah-kaidah gramatis sebagaimana ditatatingkatkan oleh gradasi gramatis. Kelebihan gradasi ini dibandingkan dengan gradasi gramatis adalah kaidah gramatis langsung dipadukan dengan penggunaannya. Wilkins dalam van Els (1984:233) menyarankan untuk menatatingkatkan isi pembelajaran dalam beberapa putaran. Putaran pertama berisi realisasi kategori nosional-fungsional yang paling sederhana dan produktif. Dalam putaran kedua, bahan tersebut diliputlagi, tetapi isi pembelajaran secara struktural lebih rumit lagi. Dengan demikian dalam gradasi ini tetap bergradasi gramatis tetapi ditata secara notional-fungsional.
Atas dasar karakteristik yang demikian itu, gradasi notional-fungsional dapat dikatakan sebagai gradasi yang minim kelemahan tetapi kaya akan keunggulan. Teristimewa manakala, gradasi ini dikaitkan dengan tujuan pembelajaran komunikatif yang di dalamnya mencakup kompetensi gramatikal maupun kompetensi pragmatikal. Di bandingkan dengan gradasi situasional, gradasi ini menjaga keseimbangan antara faktor situasi dengan kaidah gramatis. Artinya gradasi notional-fungsional tidak memberikan penekanan berlebihan pada situasi yang justru dapat menyulitkan penataannya sebagaimana hal itu terjadi pada gradasi situasional.
3. Kriteria Gradasi
Kriteria gradasi adalah rambu-rambu yang digunakan untuk mengkaji keoptimalan gradasi isi pembelajaran bahasa yang disusun berdasar faktor atau jenis gradasi tertentu. Kriteria tersebut dapat didasarkan pada deskripsi bahasa sasaran, analisis kontrastif bahasa yang telah dikuasai dan bahasa yang sedang dipelajari, dan struktur proses pembelajaran.
Berdasarkan deskripsi bahasa sasaran, isi pembelajaran bahasa dapat diteropong pada kesederhanan atau kerumitan struktur bahasa tersebut. Oleh karena itu, isi pembelajaran dapat ditatatingkatkan berdasarkan urutan dari yang sederhana ke yang rumit. Mengapa demikian? Kelazimannya struktur rumit identik dengan kesulitan pembelajarannya, dan struktur yang sederhana identik dengan kemudahan pembelajarannya. Walaupun sesungguhnya, secara teoretis kerumitan atau kesederhanaan struktur itu masih diperdebatkan.
Kriteria lain yang ditarik dari deskripsi bahasa sasaran adalah frekuensi keterjadian, dan bobot fungsional (Hamied, 1987:168). Frekuensi keterjadian dan bobot fungsional adalah produktivitas struktur tertentu, penggunaannya dalam membentuk ragam kalimat, dan fungsinya sebagai basis bagi struktur lainnya. Gradasi isi pembelajaran bahasa dapat juga dikaji dari dua hal tersebut. Apakah tertata atas struktur yang memiliki frekuensi keterjadian tinggi dan bobot fungsional tinggi, atau tidak.
Analisis kontrastif atas bahasa yang telah terkuasai dengan bahasa yang sedang dipelajari dapat juga digunakan sebagai kriteria peneropongan gradasi isi pembelajaran bahasa. Asumsinya unsur yang sama (bac:a: isomorfik) akan lebih sederhana dan lebih mudah bagi pembelajar, sedangkan unsur yang beda akan lebih rumit dan sulit bagi pembelajar. Oleh karena itu apakah penatatingkatan isi pembelajaran bahasa bermula dari isomorfik atau bukan, jika gradasi ditata berdasar tingkat kesulitannya. Meskipun, penelitian Politzer menyimpulkan bahwa gradasi berdasar analisis kontrastif dengan pola beda-sama lebih menunjukkan hasil belajar yang lebih baik ketimbang pola sama-beda (Hamied, 1987:168). Jadi penatatingkatan atas pola sama-beda tidak dapat dipastikan memberikan gradasi isi pembelajaran bahasa yang optimal.
Alternatif lain dalam penggunaan kriteria gradasi ialah berdasarkan struktur proses pembelajaran. Hal ini sebagaimana diintroduksi Candlin dan Nunan yang mengadaptasi model Bruner seperti telah diketengahkan di muka. Kriteria ini dapat diperluas pada urutan proses pemerolehan bahasa sebagai para penutur asli bahasa itu memperolehnya. Walaupun harus diakui penelitian tentang kedua hal tersebut –proses pembelajaran dan urutan pemerolehan bahasa- masih sangat terbatas sehingga informasi tentang hal itupun juga belum dapat dianggap memadai dan mencukupi. Menurut penelitian Knapp (1980) dalam Hamied (1987:169) pula urutan itu sangat rumit, tidak ada urutan yang menjamin bahwa semua aspek struktur klausa dipelajari secara relatif berurut. Suatu urutan yang terbukti efektik pada pembelajaran aspek tertentu, ternyata berpengaruh negatif terhadap pembelajaran aspek lain. Hasil lain penelitian Knapp (1)aspek yang disuguhkan di awal pada umumnya dikuasi lebih baik daripada aspek yang disajikan di akhir, dan yang disuguhkan di tengah terbukti paling tidak efektif, dan (2)struktur yang kontras terbukti lebih sukar daripada struktur paralel.
Penutupan
Gradasi isi pembelajaran sebagai bagian pengembangan bahan ajar bahasa diyakini akan berpengaruh terhadap proses maupun hasil pembelajaran bahasa. Oleh karena itu, isi pembelajaran perlu ditatatingkatkan dengan mengacuhkan berbagai faktor dan mendasarkan pada pola atau jenis gradasi tertentu. Faktor tersebut adalah tujuan, tingkat, waktu, masukan, pembelajar, dan aktivitasn pembelajaran. Pola gradasi yang dapat dipilih adalah lurus, putar, gramatis, situasional, atau nosional-fungsional. Pemilihan pola gradasi manapun dengan pengacuhan faktor-faktor manapun, keoptimalan gradasi terpilih perlu dikaji dari perspektif deskripsi bahasa sasaran, analsis kontrastif bahasa yang telah dikuasai dengan yang sedang dipelajari, dan struktur proses pembelajaran.
Proses penatatingkatan isi pembelajaran bahasa dengan demikian tidaklah sederhana, dan gampang. Oleh karena itu, siapapun yang bekerja pada pengembangan bahan ajar harus menyadari kerumitan dan kekompleksan pekerjaannya itu. Prinsip-prinsip penatatingkatan isi pembelajaran tersebut perlu diperhatikan oleh penyusun kurikulum, penyusun buku ajar, termasuk juga pengajar atau guru bahasa.
Daftar Acuan
Hamied, Fuad Abdul. 1987. Proses Belajar Mengajar Bahasa. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, P2LPTK.
Nunan, David. 1989. Designing Tasks for the Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
Van Els, Theo etc.. 1984. Applied Linguyistics and the Learning and Teaching of Foreign Languages. Victoria: Edward Arnold.
* Makalah disajikan dalam Mimbar Ilmuah Jurusan dalam rangka Bulan Bahasa 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar